Senin, 30 Agustus 2010

AYO MENGENAL THORIQOH (3)

Sejarah PDF Cetak Surel
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari".
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT..  Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

sumber: http://thoriqoh-indonesia.org

AYO MENGENAL THORIQOH (2)

Pengertian PDF Cetak Surel
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah, yang merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para Ulama’ salafus sholihin, yang bersumber dari Rosulullah SAW. dari Malaikat Jibril AS. dan atas petunjuk Allah SWT. dengan sanad yang muttasil.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan suatu sarana bagi para Mursyid/Muqoddam/Khalifah, untuk lebih mengefektifkan pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk menjalin ukhuwah antar sesama penganut ajaran Thoriqoh dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan didalam amaliyah ubudiyyah serta meningkatkan robithoh terhadap guru Mursyid/Muqoddam/Khalifah.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah memiliki konsep yang senafas dengan konsep dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia dalam rangka membangun generasi bangsa yaitu membangun manusia dari jiwa/rohaniyah dengan memperbaiki akhlaq, keimanan, ketaqwaan dan baru kemudian pembangunan fisik/jasmaniyyah.
Namun demikian dalam ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah tetap menjaga keseimbangan antara syariat, thoriqoh, hakikat dan ma’rifat yaitu ajaran Islam tentang Iman, Islam dan Ihsan sebagai sistem pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang menyeluruh.
Oleh karena itu Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah disamping memiliki komitmen untuk terus meningkatkan hubungan langsung kepada Allah SWT.,  juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap permasalahan umat dalam rangka membangun bangsa dan Negara yang lebih maju, modern, bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tumbuh sebagai bangsa yang beriman bertaqwa serta berakhlaq mulia melalui proses pembinaan yang terus menerus, pengamalan Takholli, Tahalli dan Tajalli.
Keberadaan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah adalah perwujudan dari pelaksanaan ajaran Islam Ala Ahlussunnah Waljamaah secara konsisten yang menjadi faham Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.
   
sumber: http://thoriqoh-indonesia.org

AYO MENGENAL THORIQOH (1)

Profil PDF Cetak Surel

BENTUK
Organisasi keagamaan ini bernama Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah yang merupakan satu-satunya wadah bagi para pengamal ajaran Thoriqoh yang menjadi badan Otonom Jam'iyah Nahdlatul Ulama.
adalah Jam’iyyah Diniyyah yang berazaskan Islam Ala Ahlussunah wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari madzhab 4 : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam bidang fiqih; menganut ajaran Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah dalam bidang aqidah dan menganut faham Al Khusyairi, Hasan Al Basri, Juned Al Baghdadi dan Al Ghazali dan sesamanya dalam bidang Tasawuf/Thoriqoh
didirikan pada tanggal 20 Robi’ul Awwal 1377 H. bertepatan tanggal 10 Oktober 1957 M. di Ponpes Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, disahkan oleh Muktamar NAHDLATUL ULAMA XXVI di Semarang bulan Rajab 1399 H. bertepatan bulan Juni 1979 M.
Tokoh Pendiri
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Dr. Idham Cholid
4. KH. Masykur
5. KH. Muslih
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia

SIFAT
Universal artinya : Thoriqoh memiliki sifat yang mendunia melampui batas-batas wilayah dan negara karena tiap-tiap aliran Thoriqoh walaupun diamalkan oleh tiap-tiap warga negara tetapi secara sanad masing-masing masih berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Sifat menyeluruh artinya pelaksanaan ajaran Thoriqoh sekaligus meliputi pelaksanaan Al Aqidah Al Syariah Al Muamalah dan Al Akhlaq yang bertujuan untuk Wushul Ila Allah.
Tertib dan terbimbing setiap pengamal Thoriqoh harus didasarkan kepada kitab-kitab yang muktabar dengan bimbingan para Mursyid.
Al Wushul Ila Allah, Thoriqoh adalah tidak semata-mata bentuk amalan bacaan atau dzikir untuk mencari pahala tetapi Thoriqoh bertujuan membentuk manusia seutuhnya, lahiriyah bathiniyah, yang bisa mengembangkan dan merasa didengar dan dilihat oleh Allah, atas dirinya sehingga dapat memiliki beberapa sifat Al Hauf, Ar Raja’, As Shidiq, Al Mahabbah, Al Wara’, Az Zuhud, As Syukur As Shabar, Al Khaya’ dan Al Khusyu’. Semuanya itu merupakan bagian dari syarat dalam mencapai mardhotillah.
Amanah; Fathonah; Shidik dan Tabligh, sebagai cahaya pancaran dari baginda nabi yang seharusnya mewarnai setiap anggota Thoriqoh, sehingga dari sifat-sifat tersebut dapat melahirkan sifat handarbeni dan menghargai segala pemberian hak individu dari lingkup yang kecil sampai yang besar baik yang diberikan oleh Allah SWT maupun pemberian oleh sebab manusia.

sumber: http://thoriqoh-indonesia.org


KRITIK PRAKTEK TAREKAT & TASAWUF (HABIS)

Persambungan Tasawuf Indonesia dengan Tasawuf Maroko
 
Sabtu, 24 November 2007 10:03
Rabat, NU Online
Selain kritik, hal menarik lain yang menjadi kajian Ahmad Najib Afandi dalam karya ilmiahnya adalah ia berhasil menyodorkan bukti persambungan antara Islam dan tasawuf di Indonesia dengan tasawuf di Maroko (Al-Gharb Al-Islami). Hal itu, selama ini, sering dilupakan, baik melalui hubungan guru dan murid dan hubungan budaya, juga lainnya.

Najib menulis, dikatakan oleh Ibrahim Harakat dalam bukunya "Pengantar Sejarah Ilmu di Maroko", “Bahwa setelah berdirinya Maroko di wilayah Afrika yang subur dengan ulamanya telah membuka akses mereka untuk ekspansi ke Timur (masyriq) untuk berdakwah dengan membawa karya-karya monumentalnya sehingga tersebarlah mereka di wilayah Timur sampai banyak memiliki murid".

Dengan data tersebut, Najib mengaku yakin bahwa sangat mungkin perjalanan ulama-ulama itu sampai ke Jawa terjadi setelah pertemuan mereka dengan orang Jawa di Tanah Suci, Mekah. Hal itu, katanya, dapat dibuktikan dengan banyaknya ulama yang dimakamkan di Jawa dengan nama Syeikh El Maghribi.

Sementara, bukti adanya hubungan intelektual secara langsung dengan ulama Maroko adalah banyaknya mahasiswa Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Maroko, seperti, Syeikh Abdul Hadi (abad IX) dari kerajaan Buton yang berguru kepada Syeikh Said El Maghribi, Syech Muhamad Nafis Al-Banjari (1710-1812 M) murid dari Syeikh Abdurahman bin Abdul Aziz El Maghribi ketika di Makkah yang pendapatnya banyak dipakai oleh Syeikh Ihsan Jampes dalam “Sirajutalibin”.

Najib memaparkan, sisi lain yang jelas menjadi bukti persambungan dan pengaruh tasawuf Maroko adalah karya para sufi Maroko, seperti, “Asyifa” karya Qadi Iyad, “Dalail Khaerat” karya Al-Jazuli, “Jawahirul Ma'ani dan Salawat Al-Faith” karya Attijani.

Begitu juga banyak tarekat yang didirikan oleh ulama Maroko, kini besar di Indonesia, seperti, As-Sadziliyah, Attijaniyah, Al-Ahmadiyah (Ahmad bin Idris El Maghribi [1760-1837 M]).

Bukan itu saja. Tasawuf Indonesia juga memiliki persambungan dengan Kurdi melalui Syeikh Amin Al-Kurdi dengan kitabnya "Tanwirul Qulub", dengan India melalui karya Syeikh Burhanpuri dengan karyanya "Tuhfat Al Mursalah" yang menjadi referensi awal lahirnya tasawuf falsafi di Indonesia.

Demikian juga dengan Persia melalui kitab “Syu'ab Al-Iman” karya Al-Mulaibari yang dikomentari oleh Syeikh Nawawi Al-Bantani dengan nama “Qami'ut Tughyan”.

Namun, dari sekian sumber tasawuf Indonesia itu, semuanya memiliki validitas referensi yang menjamin ke-sunah-an tasawuf Indonesia. Dengan sumber-sumber yang Islam natural itu, semestinya sudah menjamin segala praktik tasawuf dan tarekat di Indonesia tidak akan menyimpang dari syariat dan akidah. “Dan, dengan keragaman sumber itu pula, seharusnya menjadikan kuatnya kebhinekaan tasawuf dan Islam Indonesia,” pungkasnya.

Bukti lain yang menguatkan adanya hubungan Islam Indonesia dengan Maroko adalah adanya persamaan ornamen ukiran kayu (yang kaya warna) di atap di sejumlah masjid di Maroko dengan yang ada di bangunan warisan budaya Indonesia, seperti, Masjid Sunan Gunung Jati dan Masjid Said Naum, Kebon Kacang, Jakarta. Juga lainnya dengan masjid Alal Hasayan di Comro, Rabat. (Nasrullah Afandi)

KRITIK PRAKTEK TAREKAT & TASAWUF (3)

Tasawuf Indonesia Tak Lagi Beri Pencerahan Intelektual Kaumnya
 
Sabtu, 24 November 2007 08:01
Rabat, NU Online
Setelah membeberkan kritik secara umum, Ahmad Najib Afandi beralih menyasarkan kritiknya pada kenyataan dunia tarekat dan tasawuf di Indonesia. Ia memberikan bukti kemunduran tasawuf di negeri ini yang menurutnya harus segera diperhatikan, yaitu kemunduran intelektual kaum tarekat yang memiliki doktrin bahwa tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) bisa membuka cakrawala ilmiah secara otodikak.

“Kalau KH Ihsan Jampes (Kediri, Jawa Timur) mampu menulis “Sirajutalibin” di usia 32 tahun dalam waktu kurang dari tiga bulan, kami sangat percaya. Begitu juga dengan Mbah Nawawi Banten (Syeikh Nawawi Al-Bantani, red) dengan ratusan karyanya dan lainnya, patut kita contoh kesufiannya,” ujar Najib.

“Dan, kita banggakan keilmuan dan keihlsannya dalam beribadah, walaupun beliau bukan ahli tarekat, bahkan melarang santrinya bertarekat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh pendiri tarekat yang kini dianggap sebagai tarekat muktabarah oleh NU, semuanya memiliki karya intelektual,” tambah kader muda NU itu.

Namun demikian, ia mempertanyakan keberadaan kaum tarekat dan sufi di Indonesia kini yang ia nilai tak lagi mampu menghasilkan karya monumental seperti generasi sebelumnya. “Kini, mana karya kaum tarekat dan sufi Indonesia, kalau bukan karena ketertinggalan kemampuan mental, spiritual dan intelektual yang menjadi syarat mutlak bertarekat dan bertasawuf?” gugatnya.

Menurut Najib, hal itu berbeda dengan pergerakan tasawuf di Maroko, juga lainnya, yang hingga ini masih produktif dengan karya-karya monumental, baik dalam pemikiran Islam maupun tasawuf secara khusus.

Itulah satu sisi yang paling disorot pria yang kini menjadi pengajar tetap di Pondok Pesantren Al-Hikmah II Brebes, Jawa Tengah. Ia menilai, hal itu merupakan kemunduran besar yang lahir dari sebuah kesalahan yang besar pula. Sebab, katanya, kini pergerakan tasawuf di Indonesia tidak lagi memberikan pencerahan intelektual kaumnya agar tidak lagi saling menyalahkan, apalagi untuk orang lain.

Karena, jelas Najib, seharusnya mereka kini lebih unggul dibanding pendahulunya yang hidup dalam keterbatasan dan kesengsaraan hidup. Sesungguhnya, saat ini, tasawuf banyak dijadikan pelampiasan, pilihan akhir dari kegagalan. Bukan menjadi keharusan hidup yang sehat jasmani dan rohani.

“Walaupun hal itu tidak semuanya kita salahkan, tapi setidaknya, akan menjadi penyebab kemunduran intelektualitas dan mutu tasawuf dan tarekat. Karena, sufi yang sesungguhnya adalah mereka yang memiliki intelektualitas tinggi, bahkan luar biasa,” papar Najib. (Nasrullah Afandi/bersambung)

KRITIK PRAKTEK TAREKAT & TASAWUF (2)

“Jangan Cuma Berzikir Tanpa Mengerti Maknanya”
 
Jumat, 23 November 2007 16:12
Rabat, NU Online
Kritiknya terhadap praktik tarekat dan tasawuf yang kini dinilai telah menjadi lahan pencarian materi dan popularitas cukup menohok. Tetapi, Ahmad Najib Afandi, doktor keempat dari Asia Tenggara yang belajar di negeri Maghribi itu tidak berhenti sampai di situ saja.

Atas bimbingan Prof. Dr. Abdullah Murabit El Tirgi, Guru Besar dan Dekan Fakultas Bahasa Arab, Universitas Abdel Malik Esaadi Tetouan, Najib, dalam desertasinya juga menyoroti tentang pengangkatan mursyid (guru tarekat). Ia menilai, akhir-akhir ini prosesi tersebut dilakukan seperti halnya pemilihan ‘kadus’ atau kepala dusun, yang begitu mudah dan ramai diperebutkan.

Padahal, terangnya, pada Muktamar ke-VII Jam’iyah Ahlitthoriqoh Al-Muktabaroh An-Nahdliyah, di Demak, Jawa Tengah, pada 22-24 November 1989, memutuskan syarat-syarat yang rumit dan ketat, bahkan lebih ketat dari pada syarat dan ketentuan salat yang sah dan bisa diterima Allah yang ditetapkan ulama khowas (diakui keilmuannya).

“Dengan syarat salat yang lebih ringan dari pada syarat-syarat mursyid saja kita masih jarang menemukan orang yang ‘bisa’ salat, apalagi menjadi mursyid. Tapi, kenapa mereka melakukan pemilihan mursyid dengan begitu mudah, bahkan bisa dengan sistem waris?” terang Najib.

Menurut Najib, hal itulah yang kemudian ‘menjerumuskan’ orang awam untuk ‘mewalikan’ (menganggap seseorang menjadi wali) orang-orang yang memiliki kehebatan supranatural. Padahal, tandasnya, bukan itu definisi wali, apalagi kalau dianggap sebagai Rasul atau Jibril. Semua itu, tidak lain akibat kebodohannya dengan syariat.

Kondisi seperti itulah, tegasnya, yang harus segera dibenahi dalam dunia tarekat dan tasawuf dengan memperketat syarat dan mempertajam pengajaran akidah, fikih dan ahlak sebelum dan sesudah masuk tarekat. “Jangan cuma berzikir tanpa mengerti maknanya,” pungkasnya.

Tasawuf Indonesia-Maroko

Selain kritik, hal menarik lain yang menjadi kajian Najib dalam karya ilmiahnya adalah ia berhasil menyodorkan bukti persambungan antara Islam dan tasawuf di Indonesia dengan tasawuf di Maroko (Al-Gharb Al-Islami). Hal itu, selama ini sering dilupakan, baik melalui hubungan guru dan murid dan hubungan budaya, juga lainnya.

Dikatakan oleh Ibrahim Harakat dalam bukunya "Pengantar Sejarah Ilmu di Maroko", tulis Najib, “Bahwa setelah berdirinya Maroko di wilayah Afrika yang subur dengan ulamanya telah membuka akses mereka untuk ekspansi ke Timur (masyriq) untuk berdakwah dengan membawa karya-karya monumentalnya sehingga tersebarlah mereka di wilayah Timur sampai banyak memiliki murid". (Nasrullah Afandi/bersambung)

KRITIK PRAKTEK TAREKAT & TASAWUF (1)

Kini, Menjelma Menjadi Ladang Penggalian Materi dan Popularitas
 
Jumat, 23 November 2007 14:38
Rabat, NU Online
Ahmad Najib Afandi, kader muda Nahdlatul Ulama (NU), peraih gelar doktor pertama bidang tasawuf di Maroko. Mantan Sekretaris Keluarga Mahasiswa NU di Bagdad, Irak, tahun 1998 itu, menulis desertasinya berjudul "Al-Harakah Assufiyah bi Indonesia wa Atsaruha Fi Al-Falsafat Al-Ahlak".

Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan disertasinya tentang kesalahan praktik tarekat dan tasawuf akhir-akhir ini. Pertama, soal "pengingkaran" keberadaan syariat sebagai modal mencapai hakekat. Hal itu, ia buktikan melalui hasil wawancaranya dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim, Mursyid Tarekat Naqsabandiyah di Tulungagung, Jawa Timur, sebelum wafat yang dibuatnya menjadi kajian khusus.

Kiai Mustaqim, kata Najib, mengatakan secara "brutal" menuding kiai pesantren adalah orang-orang yang salah mendidik masyarakat karena hanya mengaji dan sekolah. Akibatnya, tidak akan bisa mengantarkan mereka kepada Allah. “Coba bandingkan dengan anak saya yang masih SD (sekolah dasar, Red) tapi sudah bisa menceritakan hal-hal gaib,” kata Kiai Mustaqim seperti ditulis Najib.

Pernyataan Kiai Mustaqim dari hasil wawancara itulah yang kemudian mendorongnya membuat satu kajian dengan merujuk pemikiran KH Ihsan Jampes dalam karyanya “Sirajutolibin” yang mengatakan, “Bahwa saat ini banyak orang bodoh tapi berani mengatakan dirinya bisa sampai kepada maqom makrifat, mukasyafah dan mendapat karomat. Padahal, mereka samasekali tidak mengerti syariat, bagaimana mungkin hal itu terjadi (assufiyah al-maghrurin fi asrihi).

Sufi-sufi yang tersesat itulah judul yang digunakan Najib untuk mengkritik persoalan yang berat itu dari kajiannya tentang kenyataan tasawuf di Indonesia abad 20.

Sementara, kesalahan praktik tasawuf yang selama ini terjadi adalah maraknya pengajian atas nama tasawuf, mulai dari gang sempit hingga hotel berbintang dengan nilai jual rupiah yang sangat men-"dunia"-kan diri mereka. Sehingga, tasawuf tidak lagi menjadi gerakan moral dan ahlak, tapi telah menjelma sebagai ladang penggalian materi dan popularitas.

Ironisnya, terang Najib, hal itu banyak dilakukan oleh mereka yang samasekali belum pernah "berkenalan" dengan para pendiri tarekat dan pengarang kitab tasawuf. Akhirnya, apa yang mereka sampaikan lebih bersifat wacana, bahkan polemik yang terus mengkritik doktrin tasawuf yang mereka sendiri tidak akan mengerti. (Nasrullah Afandi/bersambung)

Minggu, 29 Agustus 2010

WAJIBKAH BER-THORIQOH?

APA ITU THORIQOH

Thoriqot adalah suatu sistem untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan keadaan seseorang dapat bermusyahadah dengan matahatinya . 
Jika kita ingin ke Al Fitroh kedinding, kita benar-benar tidak tahu dimana Al Fitroh kedinding itu berada, naik bus atau sepeda kesana.
Jika kita memaksa juga tanpa pemandu ingin ke Al Fitroh kedinding pasti nyasar, juga tanpa kedaraan yang memadai dan tepat apakah kita dapat sampai kesana ? kadang2 kita tertipu dan ditipu(udah nyasar kesasar lagi) 
Yang bagus adalah kita dipandu, diantarkan oleh pemandu yang sudah tahu Al Fitroh kedinding dan tahu jalan menuju Al Fitroh kedinding apalagi ditambah dengan kendaraan yang bagus dan tepat yang terpenting adalah mbonceng.
Dan seterusnya akhirnya kita bisa bolak balik ke Al Fitroh kedinding dengan lancar, karena sudah tahu Al Fitroh kedinding, kita bisa menjelajah Al Fitroh kedinding dan tahu banget Al Fitroh kedinding. Sehingga kelak jika ingin ke dan tinggal di Al Fitroh kedinding kita sudah bisa dan biasa.kadang bias mampir ke sunan ampel,maulana malik ibrahim,sunan giri dan lainnya.Begitulah perumpamaan yang diberikan yai

Di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 407 thoriqot itu adalah mengamalkan syari’at dan mengambil sesuatu yang paling penting, menjauhi sesuatu yang mudah atau ringan dari sesuatu tidak pantas disepelekan. Juga menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan dan melaksanakan yang fardlu serta sunat-sunatnya sesuai kemampuannya yang dibimbing oleh seorang yang telah ma’rifat kepada Allah (guru mursyid).
Menurut para Alim Ulama ahli ma’rifat Thoriqot terbagi dua : 1) Thoriqot Suluk yaitu membersihkan nafsu dari segala kotoran dengan cara (thoriqot) riyadloh, puasa, tidak tidur (melek), uzlah, zuhud dengan bimbingan mursyid agar bisa mencapai setingkat demi setingkat kepada maqom (kedudukan) yang sempurna.
Bahkan menurut Imam Al Ghazali : “Barang siapa yang telah bertafaqur dalam masalah agama (memahami, mempelajari, mengamalkan agar mendapat ridlo Allah itu juga disebut thoriqot suluk). 2) Thoriqot Tabaruk yaitu murid mengambil dzikir dari guru mursyid agar hatinya tidak lupa kepada Allah, supaya diampuni dosa, jauh dari macam-macam lalai, selamat dari hal-hal yang dibenci syara, selamat dari perbuatan hina dan siksaan Allah sehingga sampai kepada tujuan yaitu hati bersih dan kembali menghadap Allah. Contoh Thoriqot Tabaruk ini seperti yang diamalkan di Pondok Pesantren Alfithrah yang dipimpin oleh Guru
Mursyid yang mulia Asy-Syekh Ahmad Asrori al Iqhaqi ra

Thoriqot, bukanlah aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, tetapi thoriqot adalah bagian dari ajaran Agama Islam yang terpenting. 
Sebagaimana sabda Rasullulah SAW :
“Asysyari’atu aqwaalii athoriiqotu af’aalii alhaqiiqotu ahwaalii alma’rifatu ro’sul maalii” (HR. Anas bin Malik). Artinya : “Syari’at itu ucapanku, thoriqot itu perbuatanku,hakikat itu keadaanku dan ma’rifat itu puncak kekayaan (batin)”. (HR. Anas bin Malik).
Dari semua Thoriqot itu ada yang benar dan salah. Thoriqot yang benar disebut Thoriqot Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sanadnya atau silsilahnya sampai kepada Rasullulah, sedangkan Thoriqot yang salah disebut Thoriqot Ghoyr Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang tidak saesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sanadnya atau silsilahnya tidak sampai kepada Rasullulah.

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami berikan (istidroj) (Kemanjaan yang berangsur-angsur akan menarik ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui - Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh”.QS.al-A’raaf/182-183.
Kalau demikian maka timbul pertanyaan: “Apakah melaksanakan thoriqoh—di dalam agama Islam—bagi umat Islam, merupakan suatu keharusan atau kebutuhan ?”. Jawabannya :
1. Bagi orang yang sudah mengenal thoriqoh tetapi belum dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu merupakan suatu keharusan.
2. Bagi orang yang sudah menyadari akan keharusan untuk berthoriqoh, karena mereka sudah dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu adalah kebutuhan.
3. Bagi yang belum kenal sama sekali tentang ilmu thoriqoh, maka mereka wajib mengenalinya sebagai bentuk kewajiban bagi setiap pribadi muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Adapun yang dimaksud Thoriqoh, itu bias berarti hanya sekedar pengamalan ilmu dan iman, seperti melaksanakan sholat dhuha supaya rizkinya menjadi lapang atau membaca surat Waqi’ah yang diyakini dapat mendatangkan rizki umpamanya, dan bisa juga berarti melaksanakan thoriqoh secara
kelompok (jama’ah), seperti thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah atau kelompok thoriqoh yang
lainnya.
Orang mengerti dan percaya(iman) bahwa sholat dhuha dapat melapangkan rizki, kemudian mereka menjalankanya dengan dawam (istiqomah), dengan harapan (tujuan) supaya rizkinya mendapatkan
kelapangan dari Allah Ta’ala, maka pelaksanaan amal tersebut namanya thoriqoh (jalan). Yang demikian itu, supaya amal tersebut dapat menghasilkan kemanfaatan yang optimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, bagi orang yang sudah membutuhkan “hasil yang
diharapkan” dari pelaksanaan sholat dhuha tersebut, maka pelaksanaan sholat dhuha itu menjadi keharusan baginya. Sebab, tanpa pelaksanaan amal tersebut, tidak mungkin seseorang mendapatkan apa-apa yang diharapkan dari Allah Ta’ala.
Demikian pula orang yang melaksanakan thoriqoh secara berkelompok. Ketika mereka membutuhkan dari hasil thoriqoh yang dijalani tersebut, yakni cemerlangnya matahati supaya dapat
bermusyahadah kepada Allah Ta’ala, supaya dapat berma’rifat dan mencintaiNya, maka pelaksanaan thoriqoh baginya adalah keharusan. Mereka harus melaksanakan thoriqoh itu supaya apa-apa yang dicita-citakan dapat terwujud.
Adapun orang yang sadar akan keharusannya untuk melaksanakan thoriqoh. Karena mereka mengetahui bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan syari’at yang dimiliki supaya dapat mencapai hakikat yang diharapkan—menghasilkan keyakinan dari apa-apa yang sudah diimani dalam hatinya—hanyalah dengan jalan berthoriqoh, maka berthoriqoh merupakan kebutuhan yang mutlak baginya. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang tidak mengerti tentang thoriqoh saja, mereka tidak mengerti bahwa untuk mencapai segala harapan hidupnya harus dengan jalan amal—seperti sebuah pepatah mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang—kadang-kadang malah mereka menolak berthoriqoh. Mereka menolak sesuatu yang seharusnya penting untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ironisnya, mereka bahkan menganggap orang yang melaksanakan thoriqoh adalah kelompok yang berbuat bid’ah dan syirik. Akibatnya, orang yang demikian itu hidupnya selalu dalam keraguan. Sedikitpun mereka tidak mempunyai keyakinan, baik dalam bicaranya, amal perbuatannya dan juga prinsip-prinsip hidupnya.
Sebagian dari mereka bisanya hanya menyalahkan perilaku orang lain tanpa tahu bahwa jalan hidupnya sendiri sesungguhnya salah. Apakah orang dapat mencapai kepada yang diharapkan tanpa harus berusaha?, padahal semua orang memaklumi bahwa setiap usaha pasti ada jalannya, maka yang dimaksud “jalan usaha” itulah yang dinamakan thoriqoh. Rasulullah bersabda dalam satu haditsnya: “Syari’at itu adalah ucapanku, thoriqoh itu adalah perbuatanku dan hakikat itu adalah keadaan hatiku”.
Oleh karena itu, syari’at, thoriqoh dan hakikat seharusnya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam hidup manusia. Ilmu syari’at adalah ibarat bibit tumbuhan, pelaksanaan thoriqoh
dan mujahadah ibarat menanam bibit-bibit dan menggarap tanah, sedangkan ilmu laduni atau ma’rifatullah adalah buah yang setiap saat dapat dipetik dari tanaman yang sudah tumbuh subur:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) kelangit - pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”. QS.Ibrahim/24-25.
Walhasil, bagi orang yang mengenal dirinya sendiri, mengenal hak dan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya, mengenal kebutuhan hidupnya, mengenal tujuan hidup yang harus ditempuh dan dijalani, mengenal harus bagaimana dan untuk apa hidup dan mati ini diciptakan, mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang sudah dan akan dijalani, maka pelaksanaan thoriqoh—baik sebagai pelaksanaan ilmu dan iman maupun secara kelompok—adalah kewajiban dan sekaligus kebutuhan hidup yang harus dijalankan bagi setiap individu orang yang beriman, baik untuk keberhasilan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Orang yang demikian itu dinamakan orang yang “ma’rifatullah”, ma’rifat (mengenal) dirinyasendiri dan mengenal urusan Tuhannya.

Tujuan Thoriqot

Salah satu tujuan kita berthoriqoh, yaitu bagaimana kita mampu menyepuh karakter manusiawi kita yang kurang terpuji menjadi akhlakul karimah. Tanpa pencapaian tersebut berarti kita belum mampu menduduki maqom ‘kholifah Alloh di muka bumi’, berarti pula kita belum mendapatkan potensi untuk meneruskan pancaran do’a guru-guru mursyid kita kepada keluarga kita dan sesama ikhwan thoriqoh. Untuk tujuan inilah maka secara khusus seorang guru mursyid mengangkat imam-imam khususi. Jadi, kedudukan imam khususi itu ibarat talang untuk mengalirkan air (masyrob/minuman ruhaniah) yang dipancarkan guru mursyidnya untuk menyirami bibit yang sudah ditanamkan guru mursyid tersebut di dalam bumi ruhani murid-mirudnya. Secara khusus setiap khususi, air masyrob itu dialirkan oleh imam khususi kepada jamaah yang dipimpinnya. Demikian beratnya tugas seorang imam khususi, makanya imam khususi tersebut harus dipilih langsung oleh seorang guru mursyid. Karena hanya guru Mursyid yang tahu, apakah orang tersebut mempunyai kemampuan atau tidak.
Pencapaian karakter kholifah tersebut manakala sifat-sifat manusiawi yang bisa menyebabkan rasa pemusuhan dalam hati kita sudah tercabut sehingga hati kita mampu menebarkan rasa persaudaraan fillah. Artinya, mampu memandang musuh dan teman dalam porsi yang sama, sama-sama disayangai sebagaimana orang menyayangi saudara kandung sendiri. Itulah karakter surgawi yang digambarkan Alloh dalam firman-Nya: ”Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan”(QS.al-Hijr/47)
Jika orang berthoriqoh belum mampu mencapai hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada yang harus kita waspadai, barangkali di dalamnya masih terselip sifat hasud yang mematikan. Dari sifat hasud inilah yang akhirnya bercabang pinak menjadi kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa menyebabkan matahati kita menjadi buta dan mati. Wal Iyadzu Billah.
Ketika amaliah thoriqoh kita sudah menunjukkan tanda-tanda ada hasilnya, yakni hati kita sudah mulai ditumbuhi rasa cinta, terutama kepada guru-guru dan kepada sesama ikhwan. Untuk menguatkan pencapaian tersebut, maka ujian diadakan oleh Alloh. Sebagai tarbiyah azaliyah, kita dihadapkan dengan romantik fenomena yang terkadang tidak selalu menyenangkan hati kita. Alloh menegaskan sistem ujian ini dengan firman-Nya:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? - Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.(QS.al-Ankabut/2-3).
Untuk efektifnya sistem tarbiyah Ilahiyah tersebut, maka tradisi ghosip mahal di kalangan kita itu memang harus ada. Namun demikian, jika kita tidak mampu menyikapi hal tersebut dengan arif, maka kita sendiri yang merugi, ndak pernah naik kelas tingkatan. Adapun para pelaku ghosip tersebut, kan itu saudara kita sendiri, seperti di dunia kalangan Maha Siswa itu lo, para senior kan mendapatkan kesempatan ‘melonco’ para uniornya. Meminjam istilah Gus Dur, gitu saja kok repot…….
Kalau ada pertanyaan: “Apakah orang yang suka menggosip itu tidak berdosa”. Jika hasil akhir dari perbuatan dosa tersebut berupa kebaikan, maka apa saja bentuknya berarti hakekatnya kebaikan, jika perbuatan tersebut mampu menjadikan orang menjadi baik, maka dia ikut mendapatkan bagian dari kebaikan tersebut. Seperti dokter itu lo, meski setiap hari pekerjaannya selalu menyakiti pasiennya dengan obat maupun injeksi, oleh karena tujuannya baik maka para Dokter itu mendapatkan penghargaan tinggi di masyarakat.
Untuk supaya kita selalu dapat menyikapi fonomena tersebut dengan pandangan positif, hal itu tentunya ada kunci rahasianya, yakni kita harus mampu selalu berkhusnudz-dzon kepada Alloh SWT. Maksudnya, apa saja yang sedang terjadi di hadapan kita, kita harus yakini bahwa itu merupakan kebaikan yang didatangkan Alloh untuk kita. Jika kita mengetrapkan perasaan seperti itu secara spontan belum mampu, maka fungsi khususi kita pergunakan. Dalam khususi itu perasaan yang tidak enak tersebut kita lebur dalam samudera rahasia kepedulian dan do’a-do’a guru Mursyid kita yang sudah kita yakini mampu mengobati penyakit hati kita. Kehilafan para ikhwan itu kita maafkan di hadapan Alloh serta kita mintakan ampunan kepada-Nya. Kita yakin bahwa mereka itu di akhirat nanti akan menjadi saudara kita yang abadi.
Itulah hakekat mujahadah di jalan Alloh. Hasil dari mujahadah tersebut, awalnya terkadang terjadi gejolak dalam dada kita, ada perasaan panas dingin yang membakar hamparan isi dada kita. Itulah bentuk proses pembakaran hijab yang menyelimuti langit dada seorang hamba yang sedang menempa jiwa di Kawa Candradimuka.
Ketika proses pembakaran itu menunjukan hasilnya, maka seketika hamparan dada kita menjadi lapang, karena saat itu nur Alloh telah didatangkan sehingga yang asalnya samar menjadi cetto welo-welo, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika gejala ini sudah bisa kita rasakan, maka kita wajib bersyukur, karena itu merupakan pertanda bahwa perjalanan panjang dan melelahkan itu sudah menampakkan buahnya. Jika anda tahu rahasia ini maka anda akan yakin bahwa tradisi ghosip itu memang kita butuhkan dalam komunitas kita. Silahkan mencoba, menjadi tukang ghosip atau yang dighosipi, he he he.
Maaf ya teman-teman, barangkali saya ini Cuma ‘jarkoni’, bisa ujar tapi belum bisa ngelakoni. Tetapi ini adalah ilmu pengetahuan, jika kita jadikan tuntunan dan kita bersungguh-sungguh dalam mengetrapkan, insya Alloh pertolongan akan didatangkan. Sepanjang kesempatan masih terbuka, maka kita wajib menempa jiwa. Batasnya adalah pintu kematian, semoga kita menemukan kebahagian di sana. Amin Ya Rabbal Alamiin, (Malfiali).

MENGENAL THORIQOH 1

Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.

Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu'tabaroh. Wa ghoiru Mu'tabaroh. KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu'tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu'tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu'tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari'at. Dalam semua Thoriqoh Mu'tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.

Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah : Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jama'ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Thoriqoh Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. 

Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..

Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn 'Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-'Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu 'alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa

Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :"karyaku adalah murid muridku", Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha'illah as -Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaranajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsipprinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".

Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.

Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut. Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta'in Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.

Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al- Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama "Alawiyyah" berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al -Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid - keturunan Nabi Muhammad SAW-yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang
dilanjutkan oleh anak cucunya.

Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata "khalwat", yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara "nasabiyah", Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka). 

Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini. 

Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir (team Al Mihrab )

Habib Luthfi Ngendika "Bab NU"


Ulama-ulama Indonesia Di Haromain: Embrio NU di Indonesia
Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.
Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin ber-inovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid  beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon.
Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah  Kiai Nawawi al Bantani.
Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.
Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia.
Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.

Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.
Beliau adalah  muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu darimana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.
Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal  itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.

Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya  di istiharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati  Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”.
Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; ‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu  itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk,  Habib Hasyim langsung berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah  Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis’.
Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.
Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal  yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan. Hly.net/ Nzr/Tsi/update-inkanzus)

PENGURUS


SUSUNAN PENGURUS IDAROH SYU’BIYYAH KABUPATEN SUKOHARJO
MASA KHIDMAT 2010 – 2013

A. Majelis Ifta’
1. KH. Drs. M. Adib Zaen
2. KH. Shofwan Cholid
3. KH. Ma’shum Waladi, SH
4. KH. Muhammad Syamsuri

B. Ifadliyyah
1. Rois : KH. Achmat Tsabit
2. Rois Awal : K. Achmad Baedlowi
3. Rois Tsani : K. Drs. Ismail Thoyib
4. Katib : KH. Muhammad Nadzir
5. Wakil Katib : K. Muhammad Solichan
6. Wakil Katib : Ust. Muhammad Badrun

C. Imdloiyyah
1. Mudir : KH. Drs. Choirul Anwar
2. Mudir Awal : KH. Najib Muhammad
3. Mudir Tsani : K. Drs. Aziz Maryanto
4. Sekretaris : Drs. Mukhlis Suranto
5. Sekretaris Awal : Ust. Muhammad Khudrin Hilal
6. Sekretaris Tsani : Bambang Edi Sunaryo, S.Pd.
7. Aminus Shunduq : KH. Sajiman M. Mahmudi
8. A. Shunduq Awal : Edi Riyanto, S.Pd.
9. A. Shunduq Tsani : Ust. Sunardi, S.Ag.

D. Imdadiyyah
1. Lajnah Muslimat Thoriqoh :
Ketua : Ny. Ma’muroh Adib
Sekretaris : Ny. Dwiyanti Anwar
Bendahara : Ny. Siti Hasanah Baedlowi

2. Lajnah Bahtsul Masail Thoriqoh:
Ketua : Ust. Muhammad Fardani
Sekretaris : Ust. Muhajiri
Bendahara : Nano Sumino

3. Lembaga Iqtishadiyyah :
Ketua : Ir. H. Bambang Sri Aji
Sekretaris : Marwanto
Bendahara : H. Sutarjo

4. Lajnah Ta’lif wan Naser Thoriqoh:
Ketua : Rusdi Al-Maghfur
Sekretaris : Taufik Rizak
Bendahara : Widayat

5. Lembaga Manajemen dan Pengembangan SDM:
Ketua : Ust. Heri Prasetya
Sekretaris : Ust. Lubboy Yaqin Firdausy
Bendahara : K. Drs. B. Bajuri Aminuddin


Sukoharjo, 19 April 2010
Pimpinan Sidang



KH. Drs. M. Adib Zaen K. Ahmad Baedlowi
Ketua Sekretaris