Kamis, 17 Maret 2011

TOKOH SUFI


Mengenal Beberapa Tokoh Sufi (1)

 
1.      Hasan al-Bashri

a.      Riwayat Hidup Hasan al-Bashri
Hasan al-Bashri adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Beliau mempunyai nama lengkap Abu Said al-Hasan bin Yasar, lahir di Madinah pada tahun 632 M/21 H dan wafat pada tahun 728 M/110 H.
Beliau menghafal Al-Qur’an pada usia 12 tahun, dan tidaklah beliau berpindah dari satu surat ke surat yang lainnya kecuali setelah mengetahui tafsir dan sebab turunnya surat tersebut. Beliau tidak mengurus satu dirham pun dalam perdagangan, bukan pula sebagai sekutu seorang penguasa. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu sehingga telah dilaksanakan dan tidak pula melarang dari sesuatu sampai telah meninggalkannya.

Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari berkata:”Aku belum pernah meliahat seseorang yang menyerupai para shahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam selain beliau (Al-Hasan).”[1]
b.      Pemikiran Tasawuf Hasan al-Bashri
Tasawuf Hasan al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Akan tetapi bukan karena siksaanlah Hasan al-Bashri takut, melainkan kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinyalah yang mendasari tasawufnya itu sehingga dengan perasaan takutnya itu seakan-akan neraka diciptakan hanya untuknya.[2]
Orang yang beriman menurut Hasan al-Bashri adalah orang yang mengetahui apa yang dikatakan oleh Allah sehingga itulah yang ia katakan demikian pula orang yang beriman adalah orang yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah dan sekalipun ia menafkahkan hartanya setinggi gunung, ia seakan-akan tidak dapat melihatnya.[3]
Di antara ajaran tasawuf Hasan al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah:
Anak Adam
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah[4]
2.      Dzunnun al-Misri
a.      Riwayat Hidup Dzunnun al-Misri
Dzunnun al-Misri adalah seorang sufi yang memiliki nama lengkap Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Beliau dilahirkan di Mesir pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzunnun diberikan sehubungan kekeramatan yang dimilikinya, di antaranya beliau pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat.[5]
Ilmu tasawuf diperoleh al-Misri dari gurunya yang bernama Syaqran al-Abd atau Israfil al-Maghribiy sehingga al-Misri dapat menjadi seorang yang alim dalam bidang syariat maupun tasawuf.
b.      Pemikiran Tasawuf Dzunnun al-Misri
Al-Misri adalah pelopor faham al-ma’rifah. Ma’rifat adalah Musyahadah Qalbiyyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat adalah fitrah manusia sejak zaman azali. Teori-teorinya inilah yang dianggap sebagai jembatan menuju teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Beliau membedakan antara ma’rifat sufiah (ma’rifat yang menggunakan pendekatan qalb) dengan ma’rifat aqliyyah (ma’rifat yang menggunakan pendekatan rasional). [6]
Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik hakim, mutakallimin, dan ahli balagah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sehingga menurut al-Misri, ma’rifat tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal akan tetapi lebih kepada pendekatan batin.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu, pengetahuan untuk seluruh muslim, pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama, dan pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Pengetahuan jenis pertama dan kedua belum bisa dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan sehingga belum disebut ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu. Sedangkan pengetahuan jenis ketiga dapat dikatakan sebagai ma’rifat.[7]
3.      Rabiah al-Adawiyyah
a.      Riwayat Hidup Rabiah al-Adawiyyah
Rabiah bin Ismail al-Adawiyyah al-Bashriyyah al-Qaisiyyah lahir di Bashrah pada tahun 95 H/713 M dan wafat pada tahun 185 H/801 M. Konon pada waktu perang Bashrah, Rabiah dilarikan oleh penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi).[8]
Sebagaimana terdapat dalam doa dan syairnya, Rabiah berusaha mencintai Allah di atas segalanya. Tidak ada tempat baginya kecuali Allah, sehingga hal inilah yang membuat Rabiah menolak semua orang yang ingin mempersunting dirinya sebagai isteri.
b.      Ajaran Tasawuf Rabiah al-Adawiyyah
Rabiah al-Adawiyyah merupakan peletak dasar tasawuf berdasarkan konsep mahabbah (cinta). Sikap dan pandngan Rabiah tentang cinta dapat difahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya.
Kehidupan dibangun atas dasar zuhud dan selalu diisi dengan beribadah kepada Allah sebagai tumpuan cintanya. Cinta Tabiah adalah cinta abadi kepada Tuhan yang melebihi cinta kepada apapun yang ada. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun.
Cinta illahi ada dua yaitu hub al-hawa dan hub anta ahl lahwu. Makna daripada hub al-hawa adalah bahwa cinta yang diajukan oleh Rabiah akan tetap tinggi tanpa memandang bertambah dan berkurangnya nikmat. Adapun makna hub anta lahwu yaitu bahwa cinta itu tidak didorong oleh kesenangan inderawi tetapi pendorongnya adalah zat yang dicintainya itu sendiri sehingga tidak mengharapkan balasan.[9]
4.      Abu Yazid al-Busthami
a.      Riwayat Hidup Abu Yazid al-Busthami
Abu Yazid lahir di Bustam, Persia tahun 874 M/947 M dengan nama kecil Taifur. Sewaktu Abu Yazid beranjak remaja, beliau terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali as-Sindi, yang mengajarkan Abu Yazid tentang ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan lainnya.
b.      Pemikiran Tasawuf Abu Yazid al-Busthami
Sebagai peletak dasar konsep fana dan baqa, Abu Yazid al-Busthami berpendapat bahwa sebelum bersatu dengan Tuhan, seseorang harus menghilangkan unsur materi yang terdapat dalam dirinya sehingga yang tinggal hanyalah ruh yang suci.
Untuk meningkatkan sehingga mencapai sifat-sifat Tuhan, seseorang harus selalu dalam amalan dan akhlak yang terpuji. Di antara amalan yang biasa dilakukan oleh Abu Yazid dalam pengamalan fana adalah dengan lapar dan tubuh terbuka.
Jalan menuju fana menurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Beliau bertanya, “Bagaimana caranya agar sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diru (nafsu)mu dan kemarilah”. Abu Yazid sendiri perbah melontarkan kata fana pada salah satu ucapannya, “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.[10]


[1] http://towfeeq.blogspot.com/2007/08/biografi-singkat-al-imam-hasan-al.html
[2] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2006, h. 99-100
[3] M. Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003, cet. I, h. 22-23
[4] ibid
[5] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit, h. 123
[6] M. Solihin, Op.cit., h. 59
[7] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit, h. 127
[8] http://www.blogger.com/feeds/1135047900422758477/posts/default
[9] M. Solihin, Op.cit., h. 31
[10] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit, h. 132