Sabtu, 24 September 2011

SILSILAH SUNAN KALIJAGGA

MELURUSKAN NASAB SUNAN KALIJAGA AZMATKHAN AL-HUSAINI


Oleh : Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini
dalam group : Majelis Dakwah Wali Songo
http://www.facebook.com/group.php?gid=120689947966448&ref=ts



Sumber data:
1. Kitab Syamsud Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur
2. Kitab Nasab Wali Songo, Karya Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
3. Data Kantor Pusat Rabithah Alawiyyah

Menjelaskan:


Ada 2 Versi silsilah Sunan Kalijaga:
1. Sunan Kalijaga bernasab ke Abbas, (pendapat lemah)
2. Sunan Kalijaga bernasab ke Rasulullah (pendapat yang kuat)

Silsilah Sunan Kalijaga yang bernasab ke Rasulullah, bersumber pada:
1. Kitab Syamsud Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur
2. Kitab Nasab Wali Songo, Karya Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
3. Data Kantor Pusat Rabithah Alawiyyah

Inilah Nasab Sunan Kalijaga yang benar dan diakui oleh Ulama' ahli Nasab:

1. Sunan Kalijaga alias Raden Said alias Lokajaya alias Syekh Malaya alias Pangeran Tuban alias Raden Abdurrahman (Generasi ke-24 dari Rasul, Turunan Rasul ke-23) BIN

2. Ahmad alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta bin
3. Syekh Subakir alias Muhammad Al-Baqir alias Mansur bin
4. Ali Nuruddin bin
5. Ahmad Jalaluddin bin
6. Abdullah bin
7. Abdul Malik Azmatkhan bin
8. Alwi Ammil Faqih bin
9. Muhammad Shahib Mirbath bin
10. Ali Khali’ Qasam bin
11. Alwi bin
12. Muhammad bin
13. Alwi bin
14. Ubaidillah bin
15. Ahmad Al-Muhajir bin
16. Isa bin
17. Muhammad bin
18. Ali Al-Uraidhi bin
19. Ja’far Shadiq bin
20. Muhammad Al-Baqir bin
21. Ali Zainal Abidin bin
22. Al-Husain bin
23. Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
24. Nabi Muhammad Rasulullah

SERIAL WALI SONGO

BUKTI BAHWA WALI SONGO ADALAH KETURUNAN NABI MUHAMMAD

Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden, nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri.Sebagaimana telah diketahui bahwa keturunan Alawiyin yang berada di Indonesia berasal dari Hadramaut. Imam Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath dijuluki Ammu al-Faqih, dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama Abdul Malik, Abdullah, Abdurahman dan Ahmad. Dari Abdul Malik inilah, yang keturunannya dikenal dengan al-Azhamat Khan, menurunkan leluhur wali songo di Indonesia.
Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam pada tahun 574 hijriyah. Ia meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama para sayid Alawiyin. Di India ia bermukim di Nashrabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki, diantaranya sayid Amir Khan Abdullah. Sayid Amir Khan mempunyai anak bernama Amir al-Mu’azhom Syah Maulana Ahmad. Beliau dikarunia anak bernama Jamaluddin Husein yang datang ke pulau Jawa dari Kamboja., Jamaluddin Husein hijrah ke Jawa bersama ketiga saudaranya yaitu syarif Qamaruddin, syarif Majduddin dan syarif Tsana’uddin pada akhir abad ke 7 hijriyah.
Di Kemboja Jamaluddin Husein menikahi anak seorang raja di negeri itu dan mempunyai anak yang diantaranya bernama Ali Nurul Alam dan Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Asmoro). Menurut sayid Ahmad bin Abdullah Aseggaf dalam kitabnya Chidmah al-Asyirah, Ali Nurul Alam dikarunia anak bernama Abdullah. Dari Abdullah inilah dikarunia anak bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sedangkan Ibrahim al-Ghazi bersama ayahnya meninggalkan negerinya ke tanah Aceh. Di Aceh beliau menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Sedangkan ayahnya Jamaluddin Husein meneruskan perjalanan ke tanah Jawa. Mereka mendarat di pesisir pantai Semarang, kemudian melalui jalan darat tiba di Pajajaran. Saat itu adalah akhir masa raja-raja Pajajaran yang kekuasaannya berpindah ke tangan Majapahit. Dari Pajaran Jamaluddin Husein melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur dan tiba di Surabaya. Ketika itu Surabaya masih merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduknya, dikelilingi oleh hutan dan sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel. Di desa itulah sayid Jamaluddin Husein menetap. Setelah satu setengah tahun di Ampel, bersama para pengikutnya beliau melakukan perjalanan ke Sulawesi dan setibanya di tanah Bugis, beliau wafat di kota Wajo.
Ibrahim al-Ghazi yang berada di Aceh sering melakukan perjalanan ke negeri Kamboja dan menikah di sana. Beliau dikarunia dua orang anak yaitu Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah (Sunan Ampel). Maulana Ishaq kemudian menyebarkan agama Islam di tanah Malaka, Penang dan Riau. Sayid Maulana Ishaq kemudian pindah ke Banyuwangi. Beliau dinikahkan oleh salah seorang puteri raja Blambangan. Dari perkawinannya Maulana Ishaq mempunyai seorang anak bernama sayid Ainul Yakin (Sunan Giri/Raden Paku). Di antara keturunan beliau adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Sunan Ampel dikarunia anak bernama Maulana Hasyim (Sunan Drajat), Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Maulana Ja’far Shadiq (sunan Kudus) dan Ahmad Hisan (Sunan Lamongan)
Adapun wali songo yang lain seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Kali Jaga dan Sunan Muria, menurut beberapa pendapat bukanlah keturunan Muhammad Shahib Mirbath. Menurut beberapa pendapat dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim keturunan dari Zainal Abidin bin Husein. Pendapat lain mengatakan beliau dari kota Kasyan, Persia. Begitu pula dengan silsilah Sunan Kali Jaga terdapat perbedaan di kalangan para pakar sejarah wali songo. Sebagian mengatakan, bahwa ia seorang dari suku Jawa asli. Sebagain pakar lain mengatakan bahwa ia bernama Zainal Abidin putra Sunan Ampel. Sama halnya dengan Sunan Muria, ada yang mengatakan ia anak dari Sunan Kali Jaga dan penfapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib.

http://www.facebook.com/habibullahbaalawi?ref=mf#!/photo.php?pid=216067&id=100000326304485

LARANGAN MENIKAHI SYARIFAH

MANA BUKTI AYAT YANG MELARANG MENIKAHI SYARIFAH SELAIN SAYED..

Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah

Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An’am ayat 87, berbunyi:
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
“(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…”

Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:
ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا

“Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah“.


Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi:
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا

“Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya:
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل

“Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan”.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.

Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi:
إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami”.
Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i:
فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

“…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku.”

Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab: ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda:
كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

“Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku”

Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):

‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid’.

Selanjutnya beliau berkata:

‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw’

--------------------------
Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.

Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i:
فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

“…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku.”

Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
http://www.facebook.com/home.php?#!/topic.php?uid=126298984168&topic=951

PANGERAN SABRANG LOR

MELURUSKAN SEJARAH PANGERAN SABRANG LOR

Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini


Dalam sejarah Islam.

Ada dua orang yang memakai Gelar Pangeran Sabrang Lor:
1. Yang pertama adalah: PATI UNUS (menantu Raden Fattah). Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
 putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
 
 
2. Yang Kedua adalah Pangeran Sabrang Lor Pangeran putra dari Sultan Hasanuddin. Nasab lengkapnya adalah:Pangeran Sabrang Lor Pangeran bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati bin Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah

Jadi yang menjadi Menantu Raden Fattah adalah yang pertama.