Kamis, 02 Desember 2010

WALIULLAH DI PULAU BALI

Wali 7 Pulau Dewata - Bali Plus

Jika di Jawa di ketahui ada Wali Songo (9), di Bali ada Wali Pitu (7) alias Sab'atul Awliya'. Sebagaimana makam para wali di Jawa, makam tujuh wali di Bali juga diziarahi kaum muslimin.

Bali, yang termasyhur sebagai Pulau Dewata dan tujuan wisata nomor wahid di Indonesia, ternyata menyimpan khazanah dakwah Islam. Di beberapa tempat terdapat makam para wali, seperti di Denpasar, Karangasem, Tanah Lot. Jumlahnya tujuh, karena itu disebut juga Wali Pitu. (penulis: plus). Seperti halnya makam Wali Songo di Jawa, makam wali di Bali juga sering diziarahi kaum muslimin dari berbagai penjuru tanah air.

Seperti halnya di kompleks makam para wali di Jawa, di sekitar makam Wali di Bali juga tumbuh pasar rakyat tradisional seperti warung-warung makan, pedagang bakso, toko buku dan kitab. Tentu saja juga ada yang berjualan berbagai peralatan ibadah seperti baju koko, sarung, kopiah, tasbih, minyak wangi.

Di bawah ini sekilas Wali-wali di Bali yang sempat kami ziarahi pada tanggal 23 - 27 Desember 2010 kemarin.
  
Saat menuruni tangga Masjid Habib Umar bin Maulana Yusuf di Bedugul (Sabtu, 25 Desember 2010)


1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat


Wali yang pertama bernama Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat, yang punya nama Bali, Ida Cokordo. Ia putra Raja Mengwi I yang menikah dengan seorang putri muslimah dari Kerajaan Balambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan oleh ibundanya di Balambangan, setelah dewasa menemui ayahandanya, Raja Mengwi ke-I.

Raden Amangkurat terkenal sakti mandraguna, namun tetap rendah hati dan pemaaf, terutama kepada musuh yang telah menyerah. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot), juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan juru kuncinya adalah seorang pendeta Hindu. Karena terletak di pantai Seseh, makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Keramat Pantai Seseh.

2. Dewi Khadijah

Makam keramat kedua ialah makam Keramat Pamecutan Dewi Khadijah, yang juga disebut makam Keramat Pamecutan, terletak di Jalan Batu Karu, Pamecutan, Kampung Monang-Maning, Denpasar. Dewi Khadijah, yang nama aslinya Ratu Ayu Anak Agung Rai, adalah adik perempuan Raja Cokorda III dari Kerajaan Pamecutan yang bergelar Batara Sakti - yang bertahta pada abad ke-17 M. Ia adalah isteri Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati Kerajaan Mataram.

Dewi Khadijah wafat terbunuh oleh seorang punggawa Kerajaan Pamecutan karena salah paham. Suatu malam, Dewi Khadijah shalat tahajud. Karena mengenakan mukena warna putih, dan bergerak-gerak (rukuk, sujud, duduk, berdiri), Dewi Khadijah dikira leak atau hantu perempuan. Dan ketika ia mengucapkan takbir Allahu akbar, yang terdengar oleh punggawa itu ialah makeber, makeber (terbang, bahasa Bali).

Maka sang punggawa pun melaporkannya kepada Raja Cokorda III yang kontan memerintahkannya untuk menghabisinya. Tanpa pikir panjang, si punggawa pun menghunjamkan keris ke punggung Dewi Khadijah yang tengah sujud. Ajaib, darah segar yang menyembur dari tubuhnya bersinar terang kebiru-biruan menembus dinding dan atap hingga menerangi seluruh Istana Pamecutan.

Rebo Wekasan
Konon, seluruh Denpasar menjadi terang benderang, sementara suara takbir terdengar di segala penjuru. Tentu saja Raja Cokorda III dan segenap punggawa keraton terkejut. Sebab, yang dibunuh ternyata bukan leak melainkan adik raja.

3. Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi
 Wali ketiga ialah Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi, yang makamnya berada di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Nasabnya diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan.

4. Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus
 Yang keempat ialah Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus, yang juga dimakamkan di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Wafat pada 9 Ramadhan 1493 H (19 Juni 1982), ia dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana. Semasa hidupnya banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tapi juga dari Lombok dan sekitarnya.

5. Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi
 Wali kelima ialah Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi, yang dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Di atas makam tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Makam itu selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963.

6. Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid

Wali yang keenam ialah Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid, yang makamnya terdapat di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Makam keramat ini terletak tak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan pulau Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Di depan makam dibangun patung seorang tokoh bersorban dan berjubah menunggang kuda.

Semasa hidupnya Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya.

Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar. Kaum muslimin setempat biasa menggelar haul Habib Ali setiap Ahad pertama bulan Sya'ban.

7. Syaih Abdul Qadir Muhammad

Wali yang berikutnya ialah Syaih Abdul Qadir Muhammad, yang nama aslinya Thee Kwan Pau-lie, di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing.

8. HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI ) 

Siapa yang sangka ternyata Bali yang di juluki Pulau Dewata ternyata menyimpan khasanah dakwa Islam. Kalau di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan Wali Songo (sembian Wali) yang merupakn penyebar Islam Di Nusantara, di Bali disebut Wali Pitu (Tujuh Wali) siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.

Disi kami tidak akan membahas semuanya tapi hanya Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana sekilas tentang kehidupan Beliau dan Makamnya yang sering di kunjungi turis/peziarah dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, hingga peziarah yang datang dari Negeri Jiran seperti Trengganu Malaysia.


KH. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .



0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Asal Jaga Kesopanan Religi

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda