Minggu, 31 Juli 2011

MANAQIB HABAIB

PUASA BAGI ORANG AWAM

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

AWAM, bisa berarti umum atau kebanyakan atau tidak begitu menguasai. Jadi
orang awam bisa berarti orang biasa yang tidak khusus (khawas) atau orang
yang tidak (begitu) menguasai suatu bidang/masalah.

Dalam pengertian yang kedua, semua orang bisa saja awam. Orang yang
mempunyai keahlian khusus dalam bidang teknologi misalnya, bisa awam di
bidang agama. Sebaliknya, orang yang ahli agama, bisa jadi orang awam di
bidang bisnis. Demikian seterusnya.

Nah, berkaitan dengan ibadah puasa, orang awam dalam pengertian pertama,
tentulah orang (Islam) yang hanya mengetahui bahwa puasa itu kewajiban atau
salah satu rukun Islam dan harus dikerjakan. Menurut mereka, mengerjakan
puasa harus dengan niat di malam hari dan tidak makan, minum, bersetubuh
pada siang hari. Lalu siapa orang khusus dalam hal ini?

Ahli fikih mungkin bisa dianggap sebagai orang khusus, karena mengetahui
lebih dari orang kebanyakan. Misalnya, mereka tahu persis syarat rukun
puasa. Mereka juga tahu kewajiban dan kesunahan serta apa saja yang
membatalkan puasa. Begitu juga dengan segala rincian hukum puasa.

Meski demikian, ada yang lebih khusus lagi. Yakni, mereka yang menganggap
puasa itu tidak sekadar mengetahui syarat dan rukunnya. Apalagi sekadar
tidak makan, minum, dan bersetubuh pada siang hari.

Lebih dari itu, bagi mereka, puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang
tidak diridai Allah. Dia tidak berbohong, tidak menggunjing orang lain,
tidak sombong, tidak pamer, tidak melukai hati orang, tidak bicara buruk,
dan sebagainya.

Namun bagi kalangan sufi, mereka semua itu termasuk orang awam. Ahli sufi
yang sudah sampai makrifat Allah, sedetik saja tidak ingat Allah, batallah
puasanya. Kalau kita mengambil standar mereka yang sudah makrifat, tentu
kita semua adalah orang awam.

Masuk Neraka

Waba'du; Allah SWT tidak hanya Tuhan mereka yang sudah makrifat. Tidak hanya
Tuhan para ahli fikih, dan tidak hanya Tuhannya hamba-hamba yang khusus.
Allah adalah Tuhannya seluruh makhluk, termasuk orang-orang awam.

Orang-orang (muslimin) awam dambaannya tidak lebih dari pahala dan paling
puncak adalah surga. Orang awam memandang, Allah mungkin itu sekadar majikan
dan mereka buruh.

Asal perintah majikan sudah dijalankan, sesuatu pemahaman dan sebatas
kemampuannya, mereka boleh berharap mendapat pahala dan kelak masuk surga.
Titik. Allah Asysyakuur pun menurut keyakinan saya - wallahu a'lam- pasti
menghargai dan tidak akan mengecewakan harapan mereka itu.

Bagi orang-orang khusus yang sudah mencapai tataran makrifat, surga memang
bukan iming-iming yang menggiurkan. Bahkan sufi perempuan dari Bashrah,
Rabi'ah Adawiyah, dengan lantang munajat kepada Tuhannya, "Ya Allah, apabila
aku beribadah kepada-Mu karena menginginkan surga-Mu, haramkanlah aku masuk
ke surga-Mu. Namun apabila aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, ceburkan
saja aku ke neraka-Mu. Aku hanya menginginkan-Mu."

Lebih dahsyat lagi, perempuan suci itu memohon kepada Allah, "Ya Allah ya
Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam neraka dan jadikanlah tubuhku sedemikian
besarnya sehingga memenuhi ruang neraka, agar tempat itu tak muat lagi untuk
dimasuki hamba-Mu yang lain."

Itulah orang-orang khusus. Bagi kita yang awam, hal paling penting adalah
bagaimana bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah.

Dalam hal puasa, kita betul-betul berusaha seikhlas mungkin menjalankannya
sesuai dengan pemahaman dan kekuatan kita. Artinya, kita usahakan
menjalankannya hanya semata-mata karena Allah. Sejauh mungkin menghindarkan
diri dari hal-hal yang dapat merusak kesucian Ramadan dan puasa kita.

Apabila yang halal-halal saja, seperti makan dan minum, kita hindari,
lebih-lebih yang haram-haram seperti berdusta atau ngrasani orang.

Mudah-mudahan Allah menerima puasa dan amal-amal ibadah kita yang lain.
Amin.[]

KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.

-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

TAQLID ... ?!!!!!!

Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtath

Mujtahid adalah orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi orang awam dan kelompok muqallid.

Muqallid ialah: orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja' yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang mujtahid. Sedangkan arti taqlid itu sendiri beramal ibadah, bermu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sessuai dengan fatwa-fatwa seorang mujtahid atau marja'.

Muhtath ialah: orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, akan tetapi lebih tinggi derajatnya dari muqallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fatwa seorang marja' dengan fatwa-fatwa marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtath adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muhtath jumlahnya sangat sedikit, karena berihtiyath adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan bertaqlid kepada seorang marja'.


Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim

Apabila Anda ditanya orang; mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam Madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait as) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah akidah- kepada orang lain sekalipun kepada ulama dan para mujtahid, akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan "daruriyatuddin" setiap muslim yang awam diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja'?

Jawabnya adalah: karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argument-argumen ushuluddin/akidah dengan menggunakan akal pikirannya itu, sehingga dalam masalah-masalah akidah ini tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain. Akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih/furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur'an dan hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih ini orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.

Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialis-spesialis dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik, dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.

Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialis, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk para mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya aqidah, iman dan akhlak islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adapt istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.


Dalil-dalil Keharusan Bertaqlid

Paling tidak ada lima argument yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam -dalam masalah-masalah fiqih- kepada seorang mujtahid marja'. Lima buah argument itu ialah:


1. Sirah al 'Uqala (tingkah laku orang-orang yang berakal).

Argument terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argument perilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli dibidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahwa mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk yang diberikan oleh para ahli itu.

Maka janganlah coba-coba apabila anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menyervis computer, karena pasti anda tidak akan berhasil dan masyarakat umum pun akan mencaci maki anda. Akan tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar? Atau kepada ahli bangunan?


2. Al Qur'an.

Artinya:"hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya". (Qs. At Taubah: 122)


Penjelasan:

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu untuk menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ulama ahli sunnah berkata:"maka dengan demikian Allah Swt telah mewajibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang disampaikan oleh para ulama, dan hal itu berarti "taqlid" kepada mereka.


3. Al Qur'an.

Artinya:" maka hendaklah kalian bertanya kepada Ahli Dzikir (para ulama) jika memang kalian tidak tahu". (Qs. An Nahl: 43).


Penjelasan:

Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si muqallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat itu?

Sehubungan dengan pengertian "ahli dzikir" tersebut, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik:

a. Ahli ilmu dan ahli Al Qur'anul al Karim

b. Ibnu Qayyim al Jauzi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "ahli dzikir" ialah ahli tafsir dan ahli hadits.

c. Ibnu Hazm berkata: "ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al Qur'an".

Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang Al Qur'an dan hadits-hadits Nabi saw. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa "ghaibah kubra" nya Imam Zaman Afs. Sedang Ahli Dzikir menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum yang jumlahnya ada dua belas orang. Mohon ma'af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.


4. Al Qur'an.

Artinya: "katakanlah kepada mereka:"taatilah Allah Swt, Rasul-Nya dan Ulim Amri dari kalian". (Qs. An Nisa: 59)


Penjelasan:

Sebagian ulama Ahlu Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan:"sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan hamba-Nya untuk mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan Ulil Amri yaitu para ulama dan umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya kalau tidak ada taqlid, maka tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka itu."

Para Ulama Syi'ah Imamiah -berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahlu Sunnah- mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah: "para Imam dua belas" setelah wafatnya Rasulullah saw dari mulai Imam Ali bin Abi Thalib As sampai kepada Imam Zaman Al Mahdi Afs. Dengan demikian ayat tersebut berarti: "hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya, dan para Imam Ma'shum yang 12 orang".
Sedang pada masa ghaibah kubranya Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati wali faqih, yaitu Imam Ali Khamene'I Hf dan marja' kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat-syarat.


5. Riwayat Imam Hasan al Askari As.

Artinya: "adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah "maula" nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".


Penjelasan:

Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang- kepada seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan dalam riwayat tersebut.

Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahlu Sunnah di seluruh dunia pada masa kita sekarang ini -di dalam masalah fiqih- sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi'I, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Malik, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid ini, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja' tersebut.

Sedangkan para pengikut madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid -dalam masalah furu'uddin yang bukan daruriyatuddin dan pada masa ghaibah kubra sekarang ini- kepada seorang mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum Al Muqaddasah.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:

1. Telah mencapai peringkat mujtahid.

2. Adil.

3. Laki-laki.

4. Beriman (Syi'ah Imamiah).

5. Bukan anak hasil zina.

6. Wara'

7. Lebih alim dari mujtahid lainnya

8. Dll

Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataannya sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "ahli khibrah". "Ahli khibrah" ialah orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara mujtahid dan antara a'lam dengan yang tidak.

Menurut Imam Khomeini Ra, Sayyid al Qaid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang ahli khibrah untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'. Dengan demikian si mukallaf atau muqallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya dari pada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbath dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah social, politik apalagi materinya.

Selasa, 12 Juli 2011

Malam Nisfu Sya’Ban

Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi)
* * * * *
Pada malam tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban) telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjuangan umat Islam yang tidak boleh kita lupakan sepanjang masa. Di antaranya adalah perintah memindahkan kiblat salat dari Baitul Muqoddas yang berada di Palestina ke Ka’bah yang berada di Masjidil Haram, Makkah pada tahun ke delapan Hijriyah.Sebagaimana kita ketahui, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah yang menjadi kiblat salat adalah Ka’bah. Kemudian setelah beliau hijrah ke Madinah, beliau memindahkan kiblat salat dari Ka’bah ke Baitul Muqoddas yang digunakan orang Yahudi sesuai dengan izin Allah untuk kiblat salat mereka. Perpindahan tersebut dimaksudkan untuk menjinakkan hati orang-orang Yahudi dan untuk menarik mereka kepada syariat al-Quran dan agama yang baru yaitu agama tauhid.Tetapi setelah Rasulullah saw menghadap Baitul Muqoddas selama 16-17 bulan, ternyata harapan Rasulullah tidak terpenuhi. Orang-orang Yahudi di Madinah berpaling dari ajakan beliau, bahkan mereka merintangi Islamisasi yang dilakukan Nabi dan mereka telah bersepakat untuk menyakitinya. Mereka menentang Nabi dan tetap berada pada kesesatan.
Karena itu Rasulullah saw berulang kali berdoa memohon kepada Allah swt agar diperkenankan pindah kiblat salat dari Baitul Muqoddas ke Ka’bah lagi, setelah Rasul mendengar ejekan orang-orang Yahudi yang mengatakan, “Muhammad menyalahi kita dan mengikuti kiblat kita. Apakah yang memalingkan Muhammad dan para pengikutnya dari kiblat (Ka’bah) yang selama ini mereka gunakan?”
Ejekan mereka ini dijawab oleh Allah swt dalam surat al Baqarah ayat 143:
Dan kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot…
Dan pada akhirnya Allah memperkenankan Rasulullah saw memindahkan kiblat salat dari Baitul Muqoddas ke Ka’bah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 144.
Diantara kebiasaan yang dilakukan oleh umat Islam pada malam Nisfu Sya’ban adalah membaca surat Yasin tiga kali yang setiap kali diikuti doa yang antara lain isinya adalah:
“Ya Allah jika Engkau telah menetapkan aku di sisi-Mu dalam Ummul Kitab (buku induk) sebagai orang celaka atau orang-orang yang tercegah atau orang yang disempitkan rizkinya maka hapuskanlah ya Allah demi anugerah-Mu, kecelakaanku, ketercegahanku, dan kesempitan rizkiku..”
Bacaan Yasin tersebut dilakukan di masjid-masjid, surau-surau atau di rumah-rumah sesudah salat maghrib.
Sebagian dari orang-orang yang mengaku ahli ilmu telah menganggap ingkar perbuatan tersebut, menuduh orang-orang yang melakukannya telah berbuat bid’ah dan melakukan penyimpangan terhadap agama karena doa dianggap ada kesalahan ilmiyah yaitu meminta penghapusan dan penetapan dari Ummul Kitab. Padahal kedua hal tersebut tidak ada tempat bagi penggantian dan perubahan.
Tanggapan mereka ini kurang tepat, sebab dalam syarah kitab hadist Arbain Nawawi diterangkan bahwa takdir Allah swt itu ada empat macam:
  1. Takdir yang ada di ilmu Allah. Takdir ini tidak mungkin dapat berubah, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda: “Tiada Allah mencelakakan kecuali orang celaka, yaitu orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Taala bahwa dia adalah orang celaka.”
  2. Takdir yang ada dalam Lauhul Mahfudh. Takdir ini mungkin dapat berubah, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berarti: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).” Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam doanya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.
  3. Takdir dalam kandungan, yaitu malaikat diperintahkan untuk mencatat rizki, umur, pekerjaan, kecelakaan, dan kebahagiaan dari bayi yang ada dalam kandungan tersebut.
  4. Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu yang telah ditentukan. Takdir ini juga dapat diubah sebagaimana hadits yang menyatakan: “Sesungguhnya sedekah dan silaturrahim dapat menolak kematian yang jelek dan mengubah menjadi bahagia.” Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.”
Nabi Muhammad saw pada malam Nisfu Sya’ban berdoa untuk para umatnya, baik yang masih hidup maupun mati. Dalam hal ini Sayidah Aisyah RA meriwayatkan hadits:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah keluar pada malam ini (malam Nisfu Sya’ban) ke pekuburan Baqi’ (di kota Madinah) kemudian aku mendapati beliau (di pekuburan tersebut) sedang memintakan ampun bagi orang-orang mukminin dan mukminat dan para syuhada.”
Banyak hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, at-Tirmidzi, at-Tabrani, Ibn Hibban, Ibn Majah, Baihaqi, dan an-Nasa’i bahwa Rasulullah saw menghormati malam Nisfu Sya’ban dan memuliakannya dengan memperbanyak salat, doa, dan istighfar.
* * * * *
Keistimewaan Bulan Sya’Ban
(Dari Kitab Kelebihan Rejab, Sya`ban, Ramadhan, Ustaz Budiman Radhi)
1. Sabda Nabi s.a.w bermaksud: Apabila masuk bulan sya`ban, baikkanlah niatmu padanya, kerana kelebihan sya`ban atas segala bulan seperti kelebihanku atas kamu.(Al-hadis)
2. Barangsiapa berpuasa sehari pada bulan sya`ban, diharamkan Allah tubuhnya dari api neraka . Dia akan menjadi teman nabi Allah Yusuf a.s. di dalam syurga. Diberi pahala oleh Allah seperti pahala nabi Allah Ayob a.s dan nabi Daud a.s. Jika dia sempurnakan puasanya sebulan bulan sya`ban, dimudahkan Allah atasnya sakratul maut dan ditolakkan (terlepas) daripadanya kegelapan di dalam kubur, dilepaskan daripada huruhara Munkar dan Nakir, ditutup Allah keaibannya di hari Qiamat, dan diwajibkan Syurga baginya.(Al-hadis)
3. Barangsiapa berpuasa pada awal hari khamis pada bulan sya`ban dan akhir khamis daripada sya`ban, dimasukkan dia ke dalam Syurga. (Al-hadis dari kitab Al barkah).
4. Berkata Siti A`isyah r.a.h, bulan yang lebih dikasihi oleh Rasullullah s.a.w ialah bulan Sya`ban.
5. Sabda Nabi s.a.w: Sya`ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. Sya`ban ialah mengkifaratkan (menghapuskan) dosa dan Ramadhan ialah menyucikan dosa (jasmani rohani).(Al-Hadis).
6. Sabda Nabi s.a.w : Bahawa puasa Sya`ban kerana membesarkan Ramadhan, siapa yang berpuasa tiga hari daripada bulan Sya`ban, kemudian dia berselawat atasku beberapa kali sebelum berbuka puasa, maka diampunkan oleh Allah dosanya yang telah lalu, diberkatkan rezekinya. Antara lain sabdanya lagi: Bahawa Allah ta`ala membukakan pada bulan itu tiga ratus pintu rahmat. (Al-Hadis).
7. Sabda Rasullullah s.a.w: Dinamakan Sya`ban kerana padanya terdapat kebajikan yang amat banyak, dan puasa yang lebih afdal sesudah (selain) Ramadhan ialah puasa bulan Sya`ban.(Al-hadis).
8. Sabda Nabi s.a.w: Bahawa kelebihan Rejab atas bulan -bulan yang lainnya seperti kelebihan Quran ke atas segala Qalam. Kelebihan Sya`ban atas bulan-bulan yang lainnya seperti kelebihan atas segala ambia(nabi-nabi). Kelebihan Ramadhan atas bulan yang lain seperti kelebihan Allah atas segala makhluknya. (Al-hadis)
9. Bulan Sya`ban, keagungan malamnya dengan malam nisfu Sya`ban, sepertimana keagungan Rejab dengan malam Israk Mikrajnya, dan keagungan Ramadhan dengan malam Lailatul Qadarnya. Maka pada malam Nisfu Sya`ban telah datang Jibril kepada Rasul s.a.w lalu katanya: Angkat kepalamu kelangit, itulah malam yang dibukakan Allah padanya tiga ratus pintu rahmat dan diampunkan Allah sekalian orang yang tiada menyekutukan (syirik) dengan-Nya sesuatu, kecuali tukang nujum, kekal di dalam zina, kekal minum arak, durhaka terhadap ibubapa.(Al-hadis)
10. Sabda Nabi s.a.w: Allah menilik kepada hamba-Nya pada malam Nisfu Sya`ban maka diampunkan dosa segala makhluknya melainkan orang syirik dan orang yang tiada bertutur dengan saudaranya.(Al-hadis)
11. Sabdanya lagi: Apabila pada malam Nisfu Sya`ban maka berjagalah kamu pada malamnya bersembahyang, beribadah, dan puasa kamu pada siangnya. Allah berfirman: Adakah orang yang meminta ampun maka Aku ampunkannya, adakah orang yang ditimpa bala` Aku a`fiatkannya. Adakah orang yang meminta rezeki maka Aku rezekikannya, demikianlah pertanyaan lainnya sehingga keluar fajar subuh. (Al-hadis)
12. Tersebut dalam kitab Al-berkat: Bahawa jin, burung, binatang-binatang buas, ikan di laut berpuasa mereka pada hari nisfu Sya`ban.
13. Tersebut di dalam kitab: Bahawa Jibril bersungguh-sungguh pada malam Nisfu Sya`ban menunaikan segala hajat. Maka datanglah Jibril kepada Rasullullah s.a.w kali keduanya, katanya: Ya Muhammad, gembirakanlah kamu bahawa Allah ta`ala telah mengampunkan segala umatmu orang yang tiada menyekutukan-Nya sesuatu. Angkatkan kepalamu, lalu Rasullullah s.a.w pun mengankatkan kepalanya, tiba-tiba terbuka segala pintu syurga. Dalam riwayat yang lain pula menyatakan terbuka segala pintu langit. Pada pintu langit pertama malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang rukuk pada malan ini. Pada pintu langit yang kedua, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang sujud pada malam ini. Pada langit yang ketiga, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang minta doa pada malam ini. Pada pintu langit keempat, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang berzikir pada malam ini. Pada pintu langit kelima, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang menangis takutkan Allah subhanahuwa ta`ala pada malam ini. Pada pintu langit keenam, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang mengerjakan amal kebajikan pada malam ini. Dan pada pintu langit yang ketujuh, malaikat menyeru kemenangan bagi orang yang meminta, maka dikurniakan permintaannya itu, dan pada pintu langit yang kelapan malaikat menyeru: Adakah orang yang meminta ampun maka diampunkan baginya. Bertanya aku kepada Jibril, sampai bilakah terbukanya semua pintu ini (diterima doa), Jibril menjawab: Sehingga naik fajar subuh. Dan katanya lagi: Pada malam ini dimerdekakan hamba-Nya yang mukmin lelaki perempuan dari api neraka sebanyak bulu kambing bani kalab (bani kalab diantara orang-orang arab yang paling banyak memelihara kambing). Dalam satu riwayat yang lain pula bahawa Allah memerdekakan hamba-Nya daripada neraka sebanyak bintang-bintang dilangit dan sebanyak hari dunia dan malamnya. Pada malam inilah dihantarkan Allah akan jibril ke Syurga untuk menghiasi syurga.
14. Barangsiapa membaca,
(Tiada tuhan melainkan Allah, tiada kami sembah melainkan Dia, dengan ikhlas lagi teguh atas dasar agama (tauhid) walaupun dibenci oleh orang-orang kafir)
ditulis Allah baginya ibadat seribu tahun, dan dihapuskan daripadanya dosa seribu tahun, dan keluarnya dari kubur, mukanya seperti bulan purnama dan ditulis pada Allah taa`la orang benar siddiq (orang yang benar).
15. Allah tidak akan mengampunkan dosa pada malam nisfu sya`ban enam orang;
1) Orang yang kekal minum arak
2) Orang yang durhaka kepada ibubapa
3) Orang yang kekal dalam zina
4) Orang yang banyak berkelahi
5) Orang yang melakukan perjualannya dengan sumpah yang dusta
6) Orang yang memperlakukan orang supaya kelahi (Al-hadis).
16. Riwayat daripada Usman, sabda baginda Rasullullah s.a.w: Pada malam nisfu Sya`ban setelah berlaku 1/3 malamnya, Allah turun ke langit dunia lalu berfirman: Adakah orang-orang yang meminta maka Aku perkenankan permintaannya, adakah orang yang meminta ampun maka Aku ampunkannya, adakah orang yang bertaubat maka Aku taubatkan akannya, dan diampunkan bagi sekalian orang mukmin lelaki perempuan, melainkan orang yang berzina atau orang yang berdendam marah hatinya kepada saudaranya. (Al-hadis)
17. Sabda Nabi s.a.w: Ya A`isyah! Adakah engkau izinkan aku sembahyang pada malam ini? Jawab A`isyah: Ya, aku izinkan lalu nabi pun bersembahyanglah sepanjang malam nisfu Sya`ban itu, beliau sujud terlalu lama masanya, sehingga aku sangka beliau telah diambil ruhnya (mati), lalu aku tutupkannya dengan kain, aku letakkan tanganku di atas dua tapak kakinya. Maka bergerak ia, gembiralah aku kerana beliau masih bernafas lagi, dan aku dengar beliau membaca di dalam sujudnya:
(Aku berlindung dengan kemaafan Engkau daripada siksa Engkau, dan aku berlindung dengan keredhaan Engkau daripada kehinaan Engkau, dan aku berlindung dengan Engkau daripada kejahatan yang datang daripada Engkau, aku tiada terhingga memuji Engkau sepertimana Engkau memuji diri Engkau). Nabi menyuruh A`isyah mengamalkan doa ini dalan sujud. (Al-hadis)
18. Sesiapa sembahyang pada malam nisfu Sya`ban daripada umat Muhammad s.a.w terlebih afdal daripada ibadatnya 400 tahun. Demikian Allah memberi tahu kepada nabi Isa a.s lalu Isa a.s pun berdoa kepada tuhan: “Mudah-mudahan aku daripada umat Muhammad s.a.w”.
(Nabi Isa akan diturunkan di akhir zaman untuk menegakkan syiarkan Islam menentang orang musyrikin, insyaallah).
19. Telah disebut empat malam istimewa tentang beribadah (berbuat amal kebajikan), iaitu malam Nisfu Sya`ban, malam Aidil Fitri pertama, malam Aidil Adha pertama, dan malam Arafah. Disambungkan malam Lailatul Qadar kerana bahawasanya malam rahmat dan merdeka daripada api neraka. Sesiapa sepanjang malam Ramadhan atau sepanjang sepuluh yang terakhir daripada Ramadhan umat Muhammad s.a.w berlumba-lumba dalam ibadah dengan berjaga malamnya. Demikian pula saat mustajab doa pada hari jumaat. Demikian pula disambungkan Asma Allah Al Azdhim (nama Allah yang teragung) di dalam Asmaul Husna yang amat mustajabkan doa padanya.
Amalan pada malam Nisfu Sya`ban.
Apabila telah selesai sembahyang Maghrib, hendaklah bi baca surah “Yaa Sinn” dengan niatkan mohon panjangkan umur dalam mentaati Allah, kemudian dibaca doa-doanya. Kemudian dibacakan surah “Yaa Sinn” pula kali keduanya dengan diniatkan diluaskan Allah rezekinya yang halal dan diberkati-Nya, kemudian lalu dibacakan doa-doanya. Kemudian dibacakan surah “Yaa Sinn” kali ketiganya pula serta diniatkan minta ditetapkan iman dan mati dalam iman, kemudian dibacakan doa-doanya.