Minggu, 29 Mei 2011

PENGAJIAN THORIQOH 3

Bertasbih Bersama Alam

Surel Cetak PDF
[Lanjutan Pengantar Memahami Thariqoh oleh Al Habib M. Luhtfi bin Yahya]
Allah Swt menciptakan alam semesta, menciptakan bumi dengan keaneka ragaman hayati. Allah Swt menciptakan bukit dan gunung, menciptakan pepohonan yang mempunyai jenis yang bermacam-macam; berkulit halus, kasar, berduri, berwarna-warni dengan segala bentuk dan rasa buah-buahannya. Satu sama lain mempunyai perbedaan, ada yang serupa tapi tak sama; manis, pahit, asam, ketir, dan lainnya. Bumi dihiasi pula dengan aliran-aliran sungai besar dan sungai yang kecil memanjang, berupa-rupa,  berkelok-kelokan, airnyapun mempunyai banyak kandungannya. Gunung-gunung tegak-tegap memancang, ada yang aktif berapi ada yang tidak.
Laut terhampar diatas bumi, adakalanya tinggi lautnya disuatu daerah lebih tinggi dari daratan seperti yang terjadi di beberapa daerah. Walaupun sama asinnya, tetapi jelas berbeda. Penghuni lautan dan daratan juga beraneka ragam. Semua itu bukan sebatas hiasan pemandangan alam, tetapi juga untuk direnungkan dan di pikirkan. Karena ilmu Allah yang diberikan pada makhluknya berbeda-beda dan memiliki keutamaan yang berbeda pula. Pertanyaannya sejauhmana kita bisa menggapai ilmu yang ada pada setiap yang diciptakan oleh Allah. Kita hanya mampu berucap Subhanallah.
Apalagi kita mau melihat lebih jauh atau mengerti, mengetahui lebih jauh apa yang ada dalam perut bumi. Secara kasat mata kita tidak bisa melihatnya dimana didalamnya (perut bumi) terdapat palung-palung, gunung-gunung kecil, didalamnya tedapat kantong-kantong gas, minyak dan kekayaan alam lainnya. Dengan ilmullah (ilmu Allah yang diberikan pada manusia) manusia mendapat kemampuan yang dengannya kita dapat menguak apa yang ada dalam perut bumi, bahkan bisa kita ambil, seperti minyak, biji besi, tembaga, kuningan, emas, perak dan bau-batu berharga.
Dan bagaimana peranan gunung berapi yang bersumberkan dari sekian kilometer yang menghubungkan daratan dengan lautan. Dan mampu menyedot air laut melalui lapisan-lapisan bumi yang sangat rapi , kemudian dikelola oleh gunung berapi tersebut; memproduksi air tawar, belerang, kandungan besi adapula yang memproduksi lumpur yang cukup mempunyai kandungan garam seperti di Purwodadi. Tak  salah lagi ini menjadi nilai tambah bagi pendapatan penduduk sekitar.
Sekali lagi saya ucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah).
Akan tetapi kita mengerti dan meyakini selain Yang Maha dalam segala sifatNya dan tiada sekutu BagiNya, selain Dia adalah makhluk, tempatnya segala kekurangan. Sadar atau tidak.
Kita semua (yang bernyawa ataupun tidak) berikhtiar untuk mengurangi  atau mengatasi segala kekurangan, pohon-pohon dengan akarnya berusaha untuk menghidupi dirinya begitu pula makhluk lainnya selain pepohonan. Dan banyak sekali diantara satu sama lain yang terkait dalam menjalani kehidupan. Ketika kita kepanasan ingin mencari penyejuk –semisal ketika kita ditengah pesawahan- mencari peneduh seperti pohon yang rindang, banyak dahan dan ranting  serta lebat daunnya.
Dengan langkah kaki kita, kita mau tidak mau dengan suka rela datang ke pohon tersebut. Demikian pula pohon yang kita teduhi tersebut ingin berteduh (meminta perlindungan) pada manusia; ingin diramut, dipelihara dan disirami air. Namun apabila bumi ini menjadi perekat diantara satu sama yang lain,  makhluk hidup didalamnya -umpamanya manusia- pohon atau makhluk hidup lainnya memerlukan menu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan giji.
Kita jarang atau bahkan tidak menyadari keadaan saling membutuhkan itu, dari sebab kesalahan itu akan menambah kerapuhan bumi. Dan menjadikan pori-pori daya serap yang lebih tertutup sehingga filter yang ada dalam tubuh bumi tiada mampu mengantisipasi.
Maka efeknya adalah tumbuhan atau ekosistem yang ada diatasnya akan mengalami kerusakan, tak ubahnya bilamana lapisan ozon telah rusak maka kebocoran ozon itu akan menyebabkan panas yang tidak normal. Dari akibat itu daya tarik matahari yang meningkat terhadap air laut bisa lebih tinggi disamping akan semakin cepat mencairnya gunung-gunung es di kutub. Maka untuk mengantsipasi sepaya daya serap bumi terhadap air laut, perlu dijaga kebersihan panai-pantai. Kebersihan pantai dari sampah-sampah akan membantu pertumbuhan butir-butir bumi serta akan menyebabkan bumi semakin sehat.
Begitupula curah hujan lebih dari hitungan masa kemarau atau musim hujan. Dengan menjaga bumi dari segala kotoran atau limbah, akan sangat membantu, pohon-pohonan dalam mentralisir daya serap daun-daunan dari pengaruh ultraviolet. Maka termasuk ikhtiar secara batiniyyah adalah dengan mengembangkan dzikir dan tasbih dengan cara penghijaun atau reboisasi bumi. Karena setiap tumbuhan khususnya dedaunan membaca tasbih kepada Allah. Tasbihnya tersebut menjadi sebab turunnya rahmat dari Allah kepada lingkungannya dimana pohon atau tumbuhan itu berada.
Dari itu yang bertasbih bukan saja pohon-pohonan, batu kerikil, pasir, semua bertasbih kepada Allah Swt.
Saya mengambil satu hadis riwayat Ibnu Abbas yang disepakati kesahihannya. Redaksi hadisnya demikian:
أنه مر بقبرين يعذبان فقال : إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فكان لا يستتر من البول وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة ثم أخذ جريدة رطبة فشقها نصفين ثم غرز في كل قبر واحدة فقالوا : يا رسول الله لم صنعت هذا ؟ فقال : لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا .
متفق عليه رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Ketika Rasulullah Saw melewati pekuburan Rasul mendengar dua penghuni kubur sedang menangis, lalu Rasulullah menebas pelapah kurma, pelapah itu kemudian ditancapkanoleh Rasulullah Saw diatas pusara kedua kubur tersebut. Kemudian yang menangis didalam kubur tersebut diam. Bertanya sahabat; ‘apakah maksudnya pelapah kurma ditancapkan dipusara tersebut. Rasulullah menjawab; ‘selagi pelapah kurma iu belum kering, pelapah itu terus membaca tasbih kepada Allah. Dari sebab tasbihnya, Allah Taala menurunkan rahmat’.
Maka dari sebab tasbihnya pelapah dan dedaunan yang ada pada pelapah tersebut orang yang didalam kubur telah mendapat rahmatnya Allah Taala, tiada musibah yang paling besar untuk setiap manusia, sebelum dipadang makhsar selain adzab kubur.
Dari sebab daun tersebut bisa meringankan siksa kubur, ini yang membuat saya takjub, subhanallah!
Kita kembali kepada diri kita kalau mau bertafakur; seandainya penghijauan dari mulai tepian pantai dan mau mengerti apa yang senarnya ada pada pohon-pohonan tersebut insya Allah kita akan dijauhkan dari segala cobaan, terutama diakhirat nanti. Tapi tidak bisa dielakan dan dipungkiri, ladang untuk akhirat nanti adalah didunia ini. Ternyata yang memerlukan kebersihan batin, bukan manusia saja, akan tetapi termasuk juga bumi, dan ekosistem diatasnya.  tobe continu (18/01) [Tsi]

SERI PENGAJIAN THORIQOH JUM'AT KLIWON

Mengenal Sifat Para Kekasih Allah

Surel Cetak PDF
Wali adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah Swt. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka ditujukan untuk itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam beribadah. Mereka melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai hamba Allah. Maka mereka mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu ke-Tuhanan.
Dengan semakin meningkatnya mereka mengenal Allah maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka adalah teladan bagi kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh Allah dalam Al Quran (Yunus: 62-63):

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, iaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”
Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali terhadap Allah ta'alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut selain pada Allah Swt, karena mereka itu adalah    الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.
Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa ada yang bisa member efek psoitif danalam mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan) dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa membedakan mana dorongan nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau tidak tertipu dengan nafsunya sendiri, apalagi oleh Syaithan,

Beliau-beliau sangat  menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh  turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada  tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain.  Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Demikian pula ketika kita datang kesuatu daerah untuk ceramah, tuan rumah mengatakan kalau di daerah itu masih banyak orang yang meminum minuman keras. Pada waktu naik ke panggung dia ngomong; ‘ masa disini masih banyak orang  minum..’ dengan nada marah. Dia naik ke podium dengan amarah bukan dengan kasih sayang untuk menyadarkan orang lain.  Tanpa sadar dia telah mendahulukan amarahnya. Ibarat seorang tuan rumah yang menyuruh atau mempersilahkan minum kopi yang dihidangkan padahal kopinya sangat panas. Tapi jika mubaligh itu bisa memahami dan menguasai nafsunya maka akan menyampaikan dengan lemah lembut. Ibarat menyuruh minum kopi itu, menunggu setelah dingin dahulu. Karena dalam al Quran sendiri pelarangan dan penyadaran minum khomer itu secara bertahap. Tapi jika panas (mubaligh) dan panas (pendengar; karena tersinggung) apa jadinya dakwah itu.
Nah para wali-wali Allah Swt tidak mungkin seperti itu.  Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana dorongan kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut imam Qusyairi ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan tetap lucu dan menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin tumbuh besar usia 6 tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.
Nah para wali Allah itu sendalnya saja tidak pernah maksiat apalagi kakinya,  kalau kita kaki kita terperosok kejurang maksiat apalagi sendalnya. Itu  pengandaian saja bagaimana beliau-beliau bisa menahan diri dari menuruti nafsu.
Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah sekejap saja belia-beliau wajib taubat.  Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.

Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.

Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu  Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa ditemukan, dan amanat Rasulullah Saw itu baru  bisa disampaikan pada masa Sahabat Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang menyampaikan salam dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya ma’rifatnya Uwais Al Qarni beliau mengenal siapa saja yang datang menghapirinya; katanya: Asalam Alaik Umar bin Khatab amirul mukminin, asalam alaika  Amirul Mukminin Arabi’ Ali bin Abi Thalib. Itu Karena dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah saling bertemu. Karena taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena taatnya pada orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin. Karena taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW

Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa.  Guru yang  menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini  bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam. (Fdi/Tsi)

PENGAJIAN THORIQOH 2

Peran Thoriqoh Dalam Membersihkan Hati

Surel Cetak PDF
Bila kita mau melihat lebih jauh tentang filosofis atau makna‘ Al Mudghoh’ yang di sebutkan pada bahasan sebelumnya ((ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب) [البخاري ومسلم]). Hati sering digunakan dengan maksud makna jiwa, dan hati yang bermakna liver. Untuk menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati yang bermakna jiwa manusia saya akan menguraikan mudhgoh atau hati dalam hadis tersebut dengan makna  liver. Ini  analog saja untuk memudahkan pemahaman pada tujuan dari pembahasan kita ini.

Mudghoh atau hati letaknya di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia membutuhkan perhatian yang serius. Perlu kita ketahui bahwa penyakit-penyakit manusia bersumberkan dari hati . baik dan tidaknya metabolism tubuh seseorang tergantung pada baik dan tidaknya darah darah orang tersebut. Dan  darah itu akan menjadi baik dan tidak tergantung dua hal:

Pertama; apa yang dimakan dan yang dan bagaimana cara memperoleh makanan itu. Apa yang dimakan adalah harus sehat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daging-dagingan yang memperkuat stamina. Kemudian darimana yang kita makan atau bagaimana cara mendapatkan makanan itu. Yang jelas makanannya harus halal, halal disini sudak mencakup pengertian makanan itu diperoleh dengan cara yang benar.
Kedua darah itu baik dan tidaknya adalah bersumber dari pencernaan. Pencernaan yang berfungsi dengan baik akan membuat darah baik dan begitu juga sebaliknya; jika pencernaannya tidak berfungsi dengan baik maka darah yang dihasilkannya juga tidak baik.
Upaya untuk membantu memperbaiki pencernaan biasa  kita lakukan paling tidak satu tahun sekali; yaitu puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diantara manfaatnya adalah membersihkan semua organ-organ manusia. Panasnya pencernaan  orang-orang yang berpuasa akan membakar hal-hal yang negative dalam pencernaan seperti bachsil dan bakteri. Dan lain sebagainya. Dengan demikian pencernaan dapat kita analogikan seperti bejana yang kita gunakan untuk memasakn segala sesuatu.
Kita bayangkan seandainya bejana itu tidak pernah dicuci. Setalah kita gunakan untuk memasak ikan laut, kita gunakan untuk memasak telur, terus demikian silih beganti sehingga menimbulkan kerak pada bejana itu. Demikian pula pencernaan, kerak-kerak, imbas daripada yang kita makan lambat atau cepat mempengaruhi proses kerja perncernaan atas makanan yang kita konsumsi.
Sangat jelas sekali bahwa pencernaan tidak bisa bekerja sendiri. Hasil proses pencernaan dilimpahkan ke ginjal, pancreas sampai pada liver. Dari kerja sama yang kompak menghasilkan beberapa hal, diantaranya darah putih, darah merah, sperma, keringat, air kencing dan kotoran.
Dari hasil kerja sama yang baik antara organ tubuh manusia tersebut akan menghasilkan lima hal di atas yang baik pula. Bila akibat proses kerja pencernaan yang kurang baik sehingga terjadi darah kotor dalam tubuh manusia, maka sangat diperlukan sekali pembersih. Yang pertama untuk membersihkan pencernaan yang menjadi sumber pengelola makanan dalam tubuh. Kedua membersihkan apa yang telah di olah.
Tugas liver adalah menjatah atau menyalurkan darah ke jantung, ke otak kecil. Apakah tidak mungkin apabila darah atau kotoran akan mempengaruhi fisik otak manusia serta sarafnya. Sehingga kurang mampu untuk berfikir baik, membuka wawasan, dan pandangan yang jauh. Apalagi jelas kita tidak menginginkan pola fikir-pola fikir yang kurang baik. Yang tidak menguntungkan bagi pribadi kita, baik dalam urusan dunia dan maupun akhirat kita.
Dengan hasil darah yang baik, sehat, akan sangat membantu dalam kecerdasan; dari kecerdasan hati sampai kecrdasan akal. Sehingga menumbuhkan pola fikir dan  wawasan serta pandangan yan jernih. Bisa memilah mana yang menguntungkan dalam dunia dan akhiratnya. Dan mana yang merugikan dalam kedua hal tersebut.

Secara fisik saja sangat memerlukan kesehatan dan kebersihan. Hati adalah bagian tubuh manusia yang sangat  berperan dalam memberikan atau dalam mensuport pola fikir, wawasan dan pandangan manusia, karena hati adalah tempatnya iman dan tempatnya nafsu. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak mempunyai alat untuk membersihkannya.

Kita harus memberikan makanan hati serta pembersihnya seperti ilmu ma’rifat dan lain sebagainya, yang terkait dengan keimanan serta pertumbuhannya. Paling tidak kita bisa memilih mana yang di dorong oleh imannya dan mana yang didorong oleh nafsunya.
Seperti masalah pencernaah diatas bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana kita mendiamkan kotoran-kotoran hati maka akan mempengaruhi pola fikir yang pada dasarnya akan merugikan diri sendiri. (tobe continu [Tsi])

PENGAJIAN THORIQOH

Pengantar Memahami Thoriqoh

Surel Cetak PDF
Thoriqoh adalah jalan menuju kepada Allah Swt. Setelah kita mengetahui tentang prinsip (aqidah), sehingga kita mengetahui mana yang wajib mana yang mustahil dan mana yang ja’iz bagi Allah. Dan bisa mengetahui serta bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram. Serta mengetahui kewajiban-kewajiban individu kepada TuhanNya. Seperti Sholat  –khususnya- dengan syarat-syaratnya. Walaupun cara mempelajarinya tidak semudah yang kita harapkan, secara sempurna.  Namun paling tidak sudah melangkah sesuai ketentuan (hukum) dan sesuai dengan ilmu.
Apabila telah mempelajari itu secukupnya, alangkah baiknya segera untuk mempelajari atau masuk kedalam thoriqoh yang sehingga bisa mengantarkan hati dalam menemukan kekhusyu’an dalam menjalankan sholatnya. Dari itu akan tambah disanubarinya; merasa dilihat dan di dengar oleh Allah Swt. Hal yang demikian tidak hanya dalam sholat belaka tetapi akan menjadi bekal hidup, untuk sehari-harinya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ke-khusyu’an. Merasa dilihat dan didengar oleh Allah.  Dan mensosialisasikan, khususnya untuk pribadi. Karena itu sesuai dengan sabda Nabi Saw; “setiap manusia dalam tubuhnya terdapat segumpal daging yang disebut ‘mudhoh’, bila segumpal darah itu baik, bersih, semuanya akan berpengaruh baik dalam pola pikir dan lain sebagainya”. Lalu sahabat bertanya; ‘apakah mudhgoh itu wahai Rasulullah Saw. Di jawab oleh baginda Nabi Saw; ‘ mudhgoh itu adalah hati’.
Sumber segala penyakit, seperti takabur, sombong, dengki, hasud, pelupa kepada yang Maha Kuasa dan penyakit hati yang lainnya, sumbernya ada dihati itu sendiri.  Kalau kita mandi, wudhu, cuci muka, jelas alatnya; pembersih tersebut adalah air. Bahkan ada yang menambah dengan farfum. Tidak cukup dengan air saja maka ditambah dengan farfum, selain itu memakai alat pembersih seperti sabun. Sehingga selain badan kita bersih juga harum.
Kita jarang berfikir, kalau kita mandi, cuci muka atau wudhu sehari berapa kali, seminggu berapa kali, pernahkah kita mewudhui, mencuci atau memandikan hati kita. Kita sadar atau tidak kalau daki-daki yang ada dalam badan kita kita bersihkan, kita gosok. Lalu kapan kita bersihkan hati kita, dan kita gosok hati kita, supaya karat-karat yang ada dalam hati, bersih. Sehingga seandainya hati bersih, bilamana karat-karatnya hilang, cahaya besi yang putih mengkilat itu akan Nampak.
Karat-karat  tersebut saya umpamakan seperti  penyakit hati, seperti takabur tersebut diatas. Apabila kita menyadari, terkadang kotoran hati itu sendiri mendorong kita berbuat satu kesyirikan yang kita sendiri tidak mengetahui. Lain daripada itu, kita banyak  tertipu dengan peranan nafsu. Nafsu itu bagaikan anak kecil, nangisnya membuat hati kita iba, tertawanya membuat hati kita lega atau terhibur. Sadar atau tidak anak itu akan tumbuh besar. Bilamana kita tidak mengawasinya, mungkin akan kencing seenaknya. Berbeda pada waktu kencing masa bayi.
Dari sinilah Thoriqoh berperan untuk membersihkan segala penyakit hati. Kalau mandi mempunyai alat; air, sabun dan farfum. Sedangkan dalam membersihkan hati alatnya adalah dengan dzikir. Sebagaiama firman Allah: ‘Ala bidzikrillah tathmainna al qulub’, ketahuilah hanya dengan berdzikir pada Allah hati kita akan menjadi tentram.
Itulah diantaranya yang bisa membersihkan hati kita. Bilamana karatan-karatan ini terkikis sedikit demi sedikit dengan bidzikrillah akan membuka sedikit demi sedikit pancaran cahaya iman yang telah tumbuh di hati kita yang tadinya banyak terhalang dengan karatan-karatan yang ada dihati. Bilamana cahaya keimanan yang didukung dengan bidzikrillah itu mulai terpancar, maka akan mewarnai pandangan pola pikir, pandangan mata, telinga kita sampai pada perilaku-perilaku kita, yang jauh dari perbuatan-perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.  Itulah Thoriqoh, mengantrar setiap individu manusia sehingga sampai kepada Allah Swt. Sadar bahwa dirinya  selaku hamba,  sadar kewajiban hamba pada Tuhannya. (tobe continu[Tsi])

WEJANGAN HABIB LUTHFI TENTANG DEMOKRASI

Nasionalisme; Dalam Kearifan Jawa

Surel Cetak PDF
Demokrasi kita masih sangat muda, masih seperti bayi  baru lahir, atau jika diandaikan dengan strata sekolah, maka Demokrasi kita baru sampai kelas TK (Tingkat Kanak-kanak). Tak ada yang salah memang semuanya membutuhkan proses, jika dibandingkan Negara-negara maju, bangsa kita berkenalan demokrasi belumlah lama.
Yang penting adalah bahwa Nasionalisme itu bukan milik golongan atau partai politik tertentu, tapi milik dan ruh kehidupan seluruh komponen bangsa. Sehingga Nasionalisme itu tidak bersifat politis, atau bukan Nasionalisme politis. Nasionalisme itu didasari rasa Handar Beni, handar beni itu lebih luas dan lebih dalam dari sekedar memiliki. Rasa itulah yang harus ditanam dan dijiwai oleh kita semua; perasaan yang lebih dalam dari sekedar memiliki. Sebab jika hanya merasa memiliki, sewaktu-waktu kita akan berani menjualnya. Seperti banyak perusahaan BUMN, atau milik Negara yang dijual.

Sekarang ini kita mencari priayi-priayi yang bukan hanya priayi sing priyoto tapi juga sasmito.  Kita mencari para pemimpin, para pejabat, yang bukan hanya pantas jadi orang terhormat, tapi juga bijaksana. Ini hanya untuk contoh saja, jika seorang Gubernur yang akan membangun daerahnya, maka lebih baik mbangun jiwo (membangun jiwa; pendidikan, keterampilan, tanggung jawab dll) bukan hanya mbangun rogo (bukan hanya membangun infra stuktur atau fisiknya saja).

Oleh karena itu saya tidak mendukung sesorang yang mencalonkan diri pada tingkat jabatan tertentu secara pribadi. Saya lebih menghargai mereka sebagai aset bangsa, yang bisa berkiprah dengan caranya sendiri-sendiri.

Dalam pewayangan ada tiga sosok yang saya kagumi; Bimo, Krisno, Semar. Tiga orang ini adalah orang terpandang, lugu, dan priyayi sing mandito, pejabat atau orang terhormat yang selalu menjaga batiniyahnya.

Semar itu simbol kerakyatan. Rakyat yang dapat sama-sama membangun daerahnya, dengan menjaga hubungan kemasyarakatan, tetua masayarakat yang bijaksana dan mengajak rakyat menghormati para pejabat pemerintahan. Kresno adalah simbol keraton, Krisno mandito sajeroning noto, memimpin, membangun Bangsa dan Negara sekalgus membangun hubungan intim dan mendalam dengan Tuhan. Ini mengindikasikan, bahwa upaya pembangunan yang tidak dimulai dari diri sendiri dan tidak menyeluruh (integral) akan jauh dari keberhasilan. Dan kemudian Arjuno. Arjuno ini adalah jejeging bumi. Orang yang dalam hidupnya dicurahkan menjaga ketertiban dan stabilitas Nasional, stabilitas Negara.

Dalam satu wilayah satu Negara harus ada yang menjadi Krisno, ratu ingkang noto sajeroning mandito, harus ada Arjuno, jejeging bumi, dan harus Ada Semar simbol priayi yang merakyat. Wal hasil, noto ora sajeroning mandito, iku ora iso, sebabe ngurus masyarakat iku urusane ati, membangun, menjalankan tampuk pemerintahan, tidak disertai dengan mandito,  itu tidak bisa, sebab memimpin masyarakat itu bukan hanya urusan lahir tetapi urusan hati.
Dengan kepmimpinan seperti ini akan menimbulkan Handar Beni, dalam hati rakyat. Satu perasaan yang mempunyai arti dan implikasi yang lebih mendalam dari sekedar rasa memiliki. Mencintai, menghorati pemimpinnya, bangsanya, dan tanah airnya. Itula Nasionalisme sesungguhnya. Nasionalisme yang sehat, bukan Nasionalisme sektoral, atau Nasionalisme temporal. (Al Habib Luthfi bin Yahya: 28/02/2011. Tsi)

Kamis, 19 Mei 2011

SHALAWAT POKOK BUKAN TAMBAHAN


Agar kita mengetahui dengan terang dan pasti apakah kedudukan “shalawat” adalah bagian daripada keimanan, perhatikanlah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an yang disebutkan di bawah ini :

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56)

Sabda Rasulullah SAW : “Bershalawatlah kamu kepada-Ku, karena shalawatmu itu menjadi zakat penghening jiwa pembersih dosa) untukmu.” (H.R. Ibnu Murdaweh, Al-Jami’)

Dari firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di atas menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa bershalawat untuk Nabi adalah salah satu bagian dari keimanan yang wajib disempurnakan oleh segala kaum Muslimin dengan sepenuh hatinya.

Abu Hurairah ra berkata : “Saya mendengar Nabi SAW bersabda : Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kubur dan janganlah kamu menjadikan kuburku sebagai persidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada.” (H.R. An Nasaiy, Abu Dawud dan Ahmad serta dishahihkan oleh An Nawawi)

Hadits ini menyatakan bahwasanya Nabi menyuruh kita bershalawat untuknya serta menyatakan bahwa shalawat kita itu sampai kepadanya dimana saja kita berada. Selain dari itu Nabi melarang kita mengosongkan rumah kita dari shalawat dan zikir, sebagaimana Nabi melarang kita menjadikan kuburnya tempat berkumpul dan bersuka ria apabila kita menziarahinya, karena shalawat kita sampai kepadanya di mana saja kita membacanya.

Maka sudah terang bahwa shalawat adalah bagian dari agama yang merupakan ibadah, hendaklah kita para ummat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah SAW sendiri, ditempat-tempat yang dikehendaki oleh syara’ dan di waktu-waktu yang perlu kita bershalawat, baik yang khusus maupun yang umum. Perintah ayat yang tersebut di atas, dikuatkan lagi oleh dua buah hadits yang telah kita sebutkan diatas, sesudah ayat itu.

Diterangkan oleh Abu Dzar Al Harawy, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra’ dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya’ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya’ban dinamai dengan “Syahrush Shalati” karena dalam bulan itulah turunnya surah Al-Ahzab ayat 56.

2. Pengertian Shalawat

“Shalawat”, berarti “doa, memberi berkah, dan ibadah.”

Maka shalawat Allah kepada hamba-Nya dibagi dua : khusus dan umum.

Shalawat khusus, ialah shalawat Allah kepada Rasul-Nya, Nabi-nabi-Nya, istimewa shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.

Shalawat umum ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mu’min.

Sesudah itu haruslah diketahui arti perkataan “Shalawat Allah kepada Muhammad SAW”, Rasul-Nya yang penghabisan, ialah “memuji Muhammad, melahirkan keutamaan dan kemuliaannya, serta memuliakan dan mendekatkan Muhammad itu kepada diri-Nya.”

Adapun pengertian kita “bershalawat kepada Nabi”, ialah : “Mengakui kerasulannya serta memohon kepada Allah semoga Allah memberikan keutamaan dan kemuliaannya.”

Maka setelah memperhatikan makna shalawat dan kewajiban kita bershalawat kepada Nabi, kita memperoleh pengertian bahwa kita berkewajiban untuk berusaha mengembangkan cita-cita Muhammad agar agama Islam tersebar merata ke segala pelosok alam.

Karena itu, kita tidak dipandang telah bershalawat dengan sepenuhnya sebelum kita disamping menyebut lafaz shalawat, melancarkan pula usaha-usaha pengembangan agama Islam. Tegasnya, di samping kita mengucapkan shalawat kita wajib untuk berusaha sekuat tenaga sesuai dengan kemampuan kita menyebarkan agama Islam di dunia ini.

Demikian juga pengertian shalawat malaikat kepada Nabi. Yakni, memohon kepada Allah supaya Allah mencurahkan perhatian-Nya kepada Nabi (kepada perkembangan agama), agar meratai alam semesta yang luas ini.

Berkata Al-Hulaimy dalam Asy-Syu’ab : “Makna shalawat kepada Nabi ialah membesarkannya. Karena itu, arti Allahumma shalli ‘ala Muhammadin, ialah Allahumma’adhim Muhammadan (Ya Tuhanku, besarkan dan muliakanlah kiranya akan Muhammad), dengan menambah berkembangnya agama yang dibawanya, dengan meninggalkan sebutannya, dengan mengekalkan syariatnya di dunia dan dengan menerima syafa’atnya terhadap ummatnya, serta memberikan washilah dan maqam mahmuda kepadanya di akhirat.

Tegasnya, pengertian “shallu ‘alaihi (bershawalatlah kepadanya),” ialah : “Ud’u rabbakum bish-shalati ‘alaihi (mohonlah kepada Tuhanmu supaya melimpahkan shalawat kepadanya).”

3. Fungsi Bershalawat

Pengarang Syarah Dalaa’il menukil pernyataan yang diberikan oleh Qadhi ‘Iyadh di dalam kitab Asy-Syifa, mengatakan : “Maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk :

a. Bertabarruk (memohon keberkatan), sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Setiap perbutan penting yang tidak dimulai dengan menyeut nama Allah dan bershalawat kepadaku, niscaya perbuatan tersebut kurang sempurna.”

Tentang maksud hadits ini, sebagian ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits dari salah seorang sahabat, Abu Saad ra, bahwa makna ayat tersebut adalah : “Tiadalah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula bersama-Ku.”

b. Memenuhi sebagian hak Rasulullah SAW, sebab beliau adalah perantara antara Allah SWT dan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang diterima oleh mereka, termasuk nikmat terbesar berupa hidayah kepada Islam, adalah dengan perantaraan dan melalui Rasulullah SAW. Di dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda : “Belumlah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.”

c. Memenuhi perintah Allah SWT yang dituangkan-Nya di dalam firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

4. Perbedaan Pendapat tentang Tambahan kata “Sayyidina” pada Shalawat

Al-Madju Al-Lughawiy menyebutkan di dalam kitab Al-Qaulul Badi’ sebagai berikut : “Kebanyakan orang mengucapkan shalawat dengan tambahan kata “Sayyidina” sebelum nama Baginda Nabi SAW, seperti ‘Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad’.

“Dalam kaitan ini perlu dijelaskan, pembacaan shalawat dengan tambahan kata “Sayyidina” itu tidak dilakukan di dalam shalat, karena mengikuti lafaz yang telah disebutkan dalam hadits-hadits yang sahih. Sedangkan di luar shalat, Rasulullah SAW mengingkari menyebut namanya dengan tambahan “sayyidina” itu. Hal ini mungkin karena dua sebab : pertama karena tawadhu (kerendahan hati) beliau, dan kedua karena beliau tidak mau dipuji atau disanjung secara langsung, atau karena sebab-sebab yang lain. Padahal, Nabi SAW sendiri telah menyatakan di dalam salah satu haditsnya, yang artinya : ‘Aku adalah sayyid (penghulu) manusia.’ Dan sabdanya tentang Hasan, cucunya : ‘Sesungguhnya puteraku ini adalah sayyid’. Dan sabda baginda untuk Saad bin Mu’az ra : ‘Berdirilah untuk Sayyid kalian !’

“Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan dengan jelas tentang kebolehan hal tersebut, sedangkan mengenai larangan atas hal itu justru masih memerlukan dalil.”

Dan Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, ia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan shalawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunnah).

Rasulullah SAW bersabda : “Katakanlah oleh kalian : Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.”

Dan sahabat Ibnu Mas’ud mengemukakan sebuah hadits yang bunyinya : “Perbaguslah shalawat kepada Nabimu.”

Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar sepakat, bahwa penambahan lafaz “sayyidina” dalam shalawat atas Nabi SAW, baik dalam shalat maupun di luar shalat, hukumnya sunnah.

Dan ketika Imam Suyuthi ditanya orang tentang hadits yang artinya : “Janganlah kamu men-sayyid-kanaku dalam shalat !”, beliau menjawab : “Sebenarnya Rasulullah tidak menambahkan kata ‘sayyidina’ ketika mengajarkan shalawat kepada para sahabatnya, disebabkan oleh ketidaksukaan beliau pada kemegahan. Karena itulah dalam salah satu hadits, beliau mengatakan : ‘Aku adalah sayyid (penghulu) manusia, dan tidak angkuh.’

“Tetapi kita, sebagai ummatnya, wajib menghormati dan mengagungkan beliau. Hal itu telah diajarkan Allah kepada kita dalam firman-Nya, yang melarang kita menyebut Rasulullah SAW dengan nama saja, yakni :

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (Q.S. An-Nuur: 63)

Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya’-nya menga-takan: “Sesungguhnya berlipatgandanya pahala shalawat atas Nabi SAW itu adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya tercakup :

a. Pembaharuan iman kepada Allah.

b. Pembaharuan iman kepada Rasul.

c. Pengagungan terhadap Rasul.

d. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.

e. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan.

f. Dzikrullah.

g. Menyebut orang-orang yang saleh.

h. Menampakkah kasih sayang kepada mereka.

i. Bersungguh-sungguh dan tadharru’ dalam berdoa.

j. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah.

5. Sebab-Sebab yang menjadikan pahala Shalawat berlipat ganda

Inilah sepuluh kebaikan selain dari kebaikan yang disebutkan dalam syariat, bahwa setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh ganjaran, sedang satu kejahatan hanya dibalas dengan satu balasan saja.”

Diantara karunia Allah yang diberikan-Nya kepada Nabi-Nya itu adalah menggabungkan dzikir kepada-Nya, dengan dzikir kepada Nabi-Nya di dalam dua kalimat syahadat. Dan menjadikan ketaatan kepada Nabi sebagai ketaatan kepada-Nya, kecintaan kepada Nabi sebagai kecintaan kepada-Nya, juga mengaitkan pahala shalawat atas Nabi dengan pahala zikrullah Ta’ala, seperti firman Allah :

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..“ (Q.S. Al-Baqarah: 152)

Dan di dalam salah satu hadits qudsi disebutkan : “Jika hamba-Ku menyebut-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun akan menyebutnya di dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun akan menyebutnya di khalayak yang lebih baik dari khlayaknya.”

Begitu juga yang dilakukan Allah dalam hak Nabi kita SAW, yaitu membalas satu shalawat seorang hamba dengan sepuluh shalawat, dan satu salam dengan sepuluh salam.

6. Keutamaan Shalawat

Untuk mengetahui keutamaan apakah yang akan diperoleh orang-orang yang bershalawat kita perhatikan beberapa hadits di bawah ini :

a. Barangsiapa bershalawat untukku sekali, maka Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)

b. “Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka menyampaikan kepadaku akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku.” (H.R. Ahmad, An Nasaiy dan Ad Darimy Syarah Al Hishn)

c. “Barangsiapa bershalawat untukku di pagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, ia akan mendapatkan syafa’atku pada hari qiamat.” (H.R. At Thabrany Al Jami’)

d. “Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (H.R. At. Thurmudzy)

Apabila kita kumpulkan beberapa hadits yang menerangkan faedah-faedah shalawat dan kita perhatikan satu persatu, tersimpullah bahwa faedah bershalawat itu diantaranya :
Satu kali shalawat, Allah akan membalas dengan 10 kali shalawat untuknya.
Satu kali shalawat, Allah akan mengangkatnya dengan 10 derajat.
Malaikat juga akan turut membaca shalawat ke atas orang yang membaca shalawat untuk Rasulullah SAW.
Doa yang disertai dengan shalawat akan diperkenankan oleh Allah SWT tetapi doa yang tidak disertai dengan shalawat ianya akan tergantung di antara langit dan bumi.
Akan mendapat tempat yang dekat dengan Rasulullah SAW di hari qiamat nanti.
Akan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW di hari qiamat nanti.
Allah akan memberikan karunia dan rahmat-Nya yang berlimpah-limpah kepada mereka yang bershalawat untuk Nabi SAW.
Dapat membersihkan hati, jiwa dan ruh kotor yang berselaput di dalam dada.
Dapat membuktikan kecintaan dan kasih sayang kita terhadap Rasulullah.
Mewariskan kecintaan Rasulullah terhadap umatnya.
Akan terselamat dan terpelihara dari segala apa yang mendukacitakan dari hal keduniaan maupun akhirat.
Dengan membawa shalawat akan dapat mengingatkan kembali apa-apa yang telah kita lupa.
Akan mendapat nur yang bersinar-sinar di hati bila kita bershalawat 100 kali dengan bersungguh-sungguh.
Mendapat ganjaran pahala seperti memerdekakan seorang hamba bila kita bershalawat sebanyak 10 kali.
Allah akan meluaskan dan melapangkan rezekinya dari sumber-sumber yang tidak diketahui.
Allah akan memberatkan timbangan di hari qiamat nanti.
Mendapat keberkatan dari Allah bagi dirinya dan juga untuk keluarganya.
Mendapat kasih sayang dari hati-hati orang mu’min terhadapnya.
Akan mendapatkan dirinya berada di Telaga Haudh (Telaga Rasulullah SAW) serta dapat pula meminumnya di hari qiamat nanti.
Dapat melepaskan diri seseorang itu dari tergelincir semasa melalui sirat dan ia dengan selamat menuju ke surga.

7. Waktu-Waktu yang baik untuk Bershalawat

Shalawat atas Nabi SAW itu disunnahkan untuk dibaca pada waktu-waktu yang telah dikemukakan oleh hadits-hadits, seperti :

1) Sesudah menjawab adzan.

2) Pada permulaan membaca doa, pertengahannya dan penutupnya.

3) Pada akhir pembacaan doa qunut.

4) Pada pertengahan takbir ‘ied.

5) Ketika masuk dan keluar masjid.

6) Ketika bertemu dan berpisah.

7) Ketika berlayar dan datang dari pelayaran.

8) Ketika bangun untuk melakukan shalat malam.

9) Ketika selesai mengerjakan shalat.

10) Ketika selesai membaca Al-Qur’an.

11) Ketika mengalami kecemasan dan kesedihan.

12) Ketika membaca hadits, menyampaikan ilmu dan zikir.

13) Dan ketika lupa akan sesuatu

14) Ketika mencium hajar aswad di dalam thawaf.

15) Ketika membaca talbiyah.

16) Ketika telinga berdengung.

17) Sehabis wudhu.

18) Dan ketika menyembelih dan bersin.

Namun ada pula hadits yang melarang membacanya di dua waktu terakhir ini.

Selain itu, waktu-waktu yang khusus untuk dibacakan shalawat padanya berdasarkan nash adalah hari Jum’at dan malam Jum’at, sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Perbanyaklah membaca shalawat pada malam Jum’at dan siang Jum’at, sebab pada ketika itu shalawat kamu diperlihatkan kepadaku.” (H.R. Al-Thabrany dari Abu Hurairah ra.)

Dan diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ra, bahwa ia menulis : “Sebarkanlah ilmu pada hari Jum’at, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Dan perbanyaklah oleh kalian membaca shalawat atas Nabi SAW pada hari Jum’at.”

Dan Imam Syafi’i ra berkata : “Aku suka membanyakkan membaca shalawat dalam setiap keadaan, pada malam dan siang Jum’at lebih aku sukai, karena ia merupakan hari yang paling baik.”


Rabu, 11 Mei 2011

TASHAWUF MENURUT IBNU TAIMIYAH

Tasawuf menurut IBNU TAIMIYAH

Oleh: Muhammad Ikhsan
  (Mahasiswa S2 UI Jakarta Program Studi Kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan Kajian Islam)


Mengurai Sikap dan Pandangan Ibnu Taimiyah yang Sesungguhnya Terhadap Tasawuf
Pengantar
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu. Diantara deretan “kata-kata” yang saling paradoks itu mungkin tidak salah jika kita menyebut “Ibnu Taimiyah” (sosok tokoh pemikiran penting abad 7 H) dan “Tasawuf” (sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang) sebagai salah satu contohnya.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.
Ibnu Taimiyah; Siapakah Dia?
Dunia Islam di era Ibnu Taimiyah –sebelum dan setelah ia dilahirkan- adalah dunia Islam yang penuh gejolak. Gejolak pemikiran dan juga gejolak politik yang berkepanjangan. Ibnu Taimiyah sendiri dilahirkan tepat lima tahun setelah Baghdad –ibukota Islam- jatuh dan porak-poranda di tangan Bangsa Tartar.[1] Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy.[2]
Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di kota kecil bernama Harran itu. Ketika usianya memasuki tujuh tahun, ia bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke kota Damaskus karena pasukan Tartar telah memasuki dan akhirnya menguasai Harran.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[3]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2.      Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.
3.      Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.”[4]
Salah satu kisah unik yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu serta kecepatan nalar Ibnu Taimiyah adalah apa yang dikisahkan oleh muridnya, Shalih Taj al-Din. Ia menuturkan,
“Suatu ketika, aku hadir dalam majlis Syekh –maksudnya: Ibnu Taimiyah-. Ternyata ada seorang Yahudi yang bertanya kepada beliau tentang Qadar, dan pertanyaan itu telah dirangkai dalam delapan bait puisi. Ketika orang Yahudi itu selesai, (Syekh) pun berpikir sebentar, lalu mulailah ia menulis jawabannya. Ia terus menulis, dan kami mengira ia menulisnya dalam bentuk prosa. Setelah selesai, orang-orang yang hadir memperhatikan jawaban yang beliau tulis. Ternyata, jawaban itu terdiri dari berbait-bait puisi dengan langgam puisi yang sama dengan pertanyaan sang Yahudi, jumlahnya 184 bait. Dalam bait-bait itu, beliau menguraikan ilmu yang jika dijelaskan memerlukan 2 jilid besar.”[5]
Perjalanan Hidup Hingga Ajal Menjemput
Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang diperjuangkannya, ia harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah dan dimusuhi. Setidak-tidaknya delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir kalinya pada tahun 727 H, tekanan terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-kitab dan alat tulis ke dalam selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di tahun itu. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini untuk menghadap Tuhannya. [6]
Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.[7]
 Sisi-sisi Lain Kepribadian Ibnu Taimiyah
Sesungguhnya ada banyak sisi menarik dari kepribadian seorang Ibnu Taimiyah. Dan hal itu tidak hanya disimpulkan oleh orang-orang dekatnya, namun juga diakui oleh  orang-orang yang berbeda bahkan memusuhinya. Diantara sisi-sisi lain kepribadiannya adalah sebagai berikut:
Keteguhan ibadah dan kezuhudannya
Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,
“Sungguh jika pikiranku terhenti pada satu masalah atau apapun yang sulit untuk kupahami, maka aku akan beristighfar kepada Allah Ta’ala seribu kali atau lebih, hingga akhirnya dadaku dilapangkan dan kekaburan masalah itu menjadi jelas.”[8]
Dalam al-‘Uqud al-Durriyah (hal. 105) –salah satu biografi tentangnya yang ditulis oleh muridnya, Ibnu ‘Abd al-Hady- disebutkan,
“Bila malam hari tiba, ia pun menyendiri dari semua manusia, berkhalwat dengan Rabb-nya Azza wa Jalla merendahkan diri pada-Nya, menekuni bacaan al-Qur’an, mengulang-ulangi berbagai bentuk penghambaan siang dan malam. Dan bila ia telah masuk ke dalam shalatnya, sekujur tubuh dan anggota badannya bergetar hingga bergoyang ke kiri dan ke kanan.”
Ibnu al-Qayyim –murid terdekatnya- mengatakan,
“Bila ia usai menunaikan shalat subuh, ia pun tinggal duduk (berdzikir) di tempatnya hingga matahari terbit dan mulai panas. Ia mengatakan, ‘Inilah sarapan pagiku, kapan saja aku tak melakukannya maka kekuatanku akan berguguran.”[9]
Adapun mengenai kezuhudannya, maka itu adalah perkara yang diketahui dengan jelas oleh semua orang yang mengenalnya. Karena itu, beberapa kali ia diberi hadiah harta yang berlimpah, namun tidak lama kemudian semuanya telah habis diberikan kepada yang membutuhkannya. Hingga bila ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan, maka ia mengambil pakaiannya lalu diberikannya kepada fuqara’.[10]
Kelapangan dadanya kepada siapa pun yang menyakitinya
Ibnu Taimiyah dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ulama yang memahami dan merealisasikan dengan baik etika dalam berbeda pendapat. Kelapangan dadanya dalam menyikapi siapa pun yang menjadi lawannya menyebabkan kekaguman tersendiri bagi para penelaah pemikirannya.
Ibn al-Qayyim pernah menuturkan,
“Ia selalu mendoakan kebaikan untuk musuh-musuhnya. Tidak pernah sekali pun aku melihat ia mendoakan kebinasaan untuk mereka. Suatu hari, aku sampaikan ‘kabar gembira’ kematian salah satu penentangnya yang paling membenci dan memusuhinya. Tapi ia justru memarahiku dan memalingkan wajahnya dariku. ‘Apakah engkau datang memberiku kabar gembira akan kematian seorang muslim?’ Ia kemudian mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.
Lalu saat itu juga, ia segera mendatangi rumahnya dan menghibur keluarga (musuh)nya itu. Ia berkata pada mereka, ‘Anggaplah aku sebagai penggantinya. Aku akan membantu kalian dalam setiap apa pun yang kalian butuhkan.’ Ia berbicara pada mereka dengan lembut dan penuh hormat; hal yang kemudian menghadirkan kebahagiaan bagi mereka. Ia kemudian berdoa sebanyak-banyaknya untuk mereka, hingga mereka sendiri takjub dibuatnya.”[11]
Al-Qadhy Ibn Makhluf al-Maliky, salah seorang penentangnya yang paling keras bahkan pernah mengatakan,
“Aku belum pernah melihat seorang pemurah yang sangat lapang dada seperti Ibnu Taimiyah. Kami telah memprovokasi negara untuk melawannya, namun ia justru memaafkan kami setelah ia punya kemampuan (untuk menjatuhkan kami di depan Sultan). Ia bahkan membela dan melindungi kami.”[12]
Kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari bukti kelapangan dada Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, dalam berbagai karyanya ia selalu mengulang-ulangi pentingnya bersikap adil, moderat dan pertengahan dalam menilai apapun dan siapa pun. Termasuk juga saat ia mengkritisi berbagai aliran pemikiran dalam Islam –bahkan di luar Islam-, ia selalu menjelaskan sisi-sisi positif yang mereka miliki. Tentu saja, tanpa mengurangi ketegasannya dalam hal-hal yang prinsipil.
IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF

Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung tema-tema sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah:
1.      al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan.
2.      al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi A’mal al-Qulub
3.      al-‘Ubudiyyah
4.      Darajat al-Yaqin
5.      al-Risalah al-Tadmuriyah
6.      Risalah fi al-Sama’ wa al-Raqsh
7.      Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebut sebagai “Tasawuf yang menyimpang”. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok pandangannya terhadap Tasawuf.
Pengertian ‘Tasawuf’ Menurut Ibnu Taimiyah
Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “sufi” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?[13]
Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ صفي , dan bukan ‘sufi’ ’. صوفي[14]
Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah.[15]
Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf    ( صوف )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[16]
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan,
“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.”[17]
Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam.[18] Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.[19]
Sejarah Pemunculan Tasawuf
Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah “sufi” telah ada di masa jahiliyyah.
Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan,
“Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.”[20]
Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1.      sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)
2.      sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3.      sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)
Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.”[21]
Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini,
“Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan ‘Shiddiqun’. Ia adalah ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada ‘shiddiq’ dari kalangan ulama dan umara’. Jenis (manusia) ‘shiddiq’ ini lebih khusus dari (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) ‘shiddiq’ yang sempurna ke’shiddiq’annya, dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para ‘shiddiqun’, maka para imam dan fuqaha’ dari Kufah pun disebut sebagai para ‘shiddiqun’. Setiap mereka (menjadi ‘shiddiqun’) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka –para sufi- adalah manusia ‘shiddiq’ paling sempurna di zamannya, meski para ‘shiddiqun’ generasi awal  lebih sempurna dari mereka.”[22]
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
1.      Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa.
2.      Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
3.      Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.[23]
Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah Ta’ala. [24]
Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri  dan sosial. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).”[25]
Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf; Benarkah?
Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah sangat membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang “berhati batu”. Benarkah demikian?
Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf.
Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan sekarang.[26] Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya.[27]
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu –seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan  mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Qur’an, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf.
Diantara karyanya itu –misalnya- adalah:
Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah. Buku ini, seperti yang dikatakannya,
“(Berisi) kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqamat’ dan ‘ahwal’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama; seperti ‘mahabbah’ pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya, ‘khauf’ dan ‘raja’ pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.”[28]
Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah yang umum digunakan di kalangan sufi; maqamat dan ahwal. Dan dalam buku ini secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagai maqam dan hal tersebut.
Hal lain yang juga patut dicatat adalah interaksinya dengan para sufi yang hidup di zamannya. Ternyata ia juga menyempatkan waktu untuk hadir dalam majlis mereka,
“Sewaktu aku masih muda, aku pernah hadir bersama sekelompok ahli zuhud dan ibadah, dan mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya.”[29]
Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru’ (Tasawuf yang disyariatkan). Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ‘ide-ide asing dari Islam’ tidak lebih merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya.[30]
Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya dengan ide-ide asing yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak dipengaruhi ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-Bashry, al-Harits al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu Taimiyah dalam hal itu.
Kedua, Ibnu Taimiyah “berhati batu (keras)”
Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari satu sisi saja dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi zamannya yang diliputi pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu Taimiyah. Sehingga tidak mengherankan –di tengah kewajiban membela agama dan tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian menjelma menjadi sosok “prajurit” yang keras. Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan pasukan Mongolia.
Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu Taimiyah yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya meski harus melewati hari-hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan musuh yang telah melontarkan fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Ia juga tetaplah Ibnu Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika tidak memahami suatu masalah, ia pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya sembari berdoa, “Wahai Dzat Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!”. Dan siapa pun yang menelaah secara utuh tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang membuktikan kedalaman ma’rifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-Nya.[31]
AHWAL DAN MAQAMAT MENURUT IBNU TAIMIYAH
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, “dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan amal  yang bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal yang bersifat bathiniyah) itu.”[32] Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas Islam untuk semesta, Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu hanyalah ‘milik’ kalangan khas, dan tidak bisa menjadi ‘milik’ kalangan –yang mereka sebut- awam. Baginya, semua ahwal dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia –misalnya- menyatakan,
“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas dam ridha juga pada-Nya; semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu (awam dan khas –pen) bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.”[33]
Berikut ini akan diulas beberapa maqamat dan ahwal yang diuraikan secara panjang lebar oleh Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya.
Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah
1.      Maqam taubat
Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi.[34] Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa –sebagaimana dalam al-Qur’an[35]- Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu karakter penting seorang wali Allah.
Taubat –menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu,
“Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah jua, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam kaum bertakwa, (Muhammad) saw selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”[36]
Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.
Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya. Adapun berdasarkan hukum, taubat –menurutnya- dibagi menjadi dua:
Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf, sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.[37]
Allah berfirman,
“Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai kaum beriman, agar kalian mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-Nur: 31)
Rasulullah saw bersabda,
“Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalain kepada Allah, sebab aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali.”[38]
Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. [39]
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah  membaginya menjadi 3 tingkatan:
Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.
Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.
Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat tersebut.
Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak di sisi Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa yang ia lakukan di awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran ‘kesuksesan’nya di akhirat jika kemudian ia menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana amal sangat bergantung pada niat memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana seorang hamba mengakhirinya.[40]
2.      Maqam Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak sebagaimana yang dipandang oleh sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi sehingga terlalu sulit untuk memahami dan mengamalkannya.[41]
Dalam menegaskan konsepnya bahwa maqamat itu merupakan kewajiban semua kalangan tanpa ada perbedaan antara awam dan khas, Ibnu Taimiyah menyatakan ,
“Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ‘maqamat’ ini hanya untuk kalangan awam dan bukan untuk kalangan khas, maka ia telah keliru jika yang ia maksud bahwa kalangan khas telah keluar( dari kewajiban itu). Sebab tidak ada seorang mukmin pun yang keluar (dari kewajiban menjalani ‘maqama’ itu –pen). Yang keluar (dari kewajiban ‘maqama’ itu) hanyalah orang kafir atau munafik.”[42]
Dalam menjelaskan  maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: (1) tawakkal dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang mutawakkil (bertawakkal) –menurutnya- adalah:
“(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan keshalehan hati dan agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap shalat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong”(QS. Al-Fatihah:5), seperti dalam firman Allah Ta’ala: “Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya.”(QS.Hud:123)…”[43]
Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang (baca: tidak menjadi alasan) untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah dalam mencapai sesuatu. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini –menurut Ibnu Taimiyah- disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya. Dan sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula; baik melalui jalan sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu ditakdirkan ‘satu paket’ dengan sebab-sebabnya. Dan pada ‘sebab-sebab’ itulah manusia ‘bermain’.[44]
3.      Maqam Zuhud
Rasulullah saw pernah bersabda,
“Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah dianugrahi hikmah.”[45]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.[46]
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam kehidupan.[47] Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.
Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu saja beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.[48]
Ahwal  Menurut Ibnu Taimiyah
Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-mahabbah sebagai maqam. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan maqam dan hal –bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan hal adalah anugrah dari Allah dan bersifat sementara atau tidak tetap[49]-, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu termasuk maqamat atau ahwal sangat bergantung pada hasil “ijtihad” masing-masing mereka.
Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf shaleh, imam-imam hadits dan tasawwuf.[50] Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.[51]
Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur: cinta yang sempurna dan ketundukan yang utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Sehingga “semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-Nya.”[52]
Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan, bergembira, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan menghamba pada Rabbnya, mencintai dan kembali pada-Nya.”[53]
Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan seorang murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai seorang syekh sufi yang menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda dengan mencintai para wali Allah yang bertaqwa, seperti para Khulafa’ al-Rasyidun, “mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali iman paling kuat dan salah satu kebaikan terbesar orang-orang bertaqwa.”[54]
Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah kemudian memperluas konsep “cinta karena Allah” hingga kemudian mencakupi seluruh kaum beriman, dan karena itu ia sangat mengkritik fanatisme kepada salah satu syekh sufi tertentu lalu membenci syekh yang lain.[55]  Menurutnya, setiap orang beriman berhak mendapatkan cinta kita sesuai dengan kadar ketaatan dan kedekatannya pada Allah. Semakin dekat dan taat ia pada Allah, maka semakin tinggi pula kadar kecintaan yang wajib kita berikan.
KONSEP WALI MENURUT IBNU TAIMIYAH
Salah satu tema penting lain yang dikaji dalam Tasawuf adalah kewalian. Kata “wali” sendiri secara kebahasaan maknanya berputar pada “kedekatan”. Karena itu bila dikatakan “wali sesuatu”, maka maknanya adalah yang dekat dengan sesuatu tersebut. [56]
Maka dalam kajian Tasawuf, “wali” kemudian bermakna kedekatan hamba pada Allah dan –sebaliknya juga- kedekatan Allah pada sang hamba. Kedekatan secara fisikal (dzaty) tentulah tidak mungkin dalam hal ini, tetapi yang dimaksud adalah kedekatan sang hamba dengan keimanan dan taqwanya, serta kedekatan Allah kepadanya dengan segala rahmat, kasih sayang dan karunia kebaikan-Nya yang khas. Bila kedua hal ini telah bertemu, maka disitulah terjadi apa disebut dengan al-walayah (hubungan perwalian antara Allah dan hamba).[57]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, konsep wali pun tidak jauh berbeda dengan apa yang umum diyakini oleh para sufi. Ia mengatakan,
“Wali Allah adalah orang yang mendekatkan dan memberikan loyalitasnya kepada-Nya dengan jalan menepati apa yang Ia cintai dan ridhai, serta mendekatkan diri dengan ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya.”[58]
Berdasarkan ini, maka ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kata auliya’ Allah (wali-wali Allah) itu mencakup siapa saja yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang memiliki iman dan taqwa, maka ia sesungguhnya juga adalah wali Allah, meskipun kemudian kadar kewalian itu tidak sama pada setiap orang; sangat bergantung pada kepatuhannya pada kehendak Allah.
Perluasan konsep wali oleh Ibnu Taimiyah ini, salah satunya didasarkan pada firman Allah,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63).
Di dalam ayat ini, Allah seperti menegaskan bahwa untuk menjadi wali Allah yang tidak pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan taqwa.
Sebagai konsekwensi konsep ini, Ibnu Taimiyah kemudian membagi wali Allah menjadi 2 golongan besar. Ia menyatakan,
“…Dan wali-wali Allah Ta’ala itu terbagi menjadi dua kelompok: ‘Sabiqun muqarrabun’ dan ‘Ashab yamin muqtashidun’. Allah menyebutkan tentang mereka di beberapa tempat dalam al-Qur’an al-Karim. Di dalam surah al-Waqi’ah, Allah mengatakan, (7-14). Lalu di akhir surat yang sama, Ia mengatakan, (88-95).
Maka orang-orang berbakti (al-Abrar) –Ashab al-Yamin- itu adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan Allah atas mereka, meninggalkan apa yang diharamkan Allah buat mereka. Mereka tidak membebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.
Adapun para ‘Sabiqun muqarrabun’, mereka adalah yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada Allah) dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan dalam firman-Nya (al-nisa: 69). Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah Azza wa Jalla. Sehingga semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.”[59]
Ibnu Taimiyah Menetapkan Adanya Karamah Wali
Ibnu membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada intinya, ia mengakui dan menyepakati adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Dan karamah ini diberikan oleh Allah kepada hamba yang dipilih-Nya; baik itu dari kalangan para nabi, ataupun selain mereka. Dan karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li al-‘adat atau di luar kebiasaan umum makhluk (baca: luar biasa).
Karena itu, Ibnu Taimiyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-‘adat ini menjadi 2 bagian besar: (1) yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, dan (2) yang terjadi pada selain para rasul.
Adapun yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, maka ia dikenal dengan istilah mu’jizat. Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang disertai dengan unsur tantangan (al-tahaddi) kepada yang ingkar. Perkara-perkara luar biasa semacam ini jelas tidak memiliki tujuan apa-apa selain untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab ini akan menguatkan kebenaran wahyu petunjuk yang dibawa oleh para nabi dan rasul.[60]
Sedangkan perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada selain para nabi dan rasul, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 jenis berdasarkan tinjauan dan pandangan syariat padanya. Dalam hal ini, ia mengatakan,
“Perkara luar biasa itu, jika menghasilkan manfaat keagamaan, maka ia termasuk amal shaleh yang diperintahkan secara agama dan syar’i. Dan jika ia menghasilkan perkara yang mubah, maka ia termasuk salah satu kenikmatan Alla yang bersifat duniawi yang mengharuskan (ia) bersyukur. Namun jika ia mengandung perkara yang terlarang, maka ia diharamkan dan dapat menjadi sebab (datangnya) adzab atau kemurkaan (Allah)…”[61]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu –sebagaimana telah disebutkan- menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya:
1.      Yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din).
2.      Yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din).
3.      Yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Jika ia mengandung manfaat, maka ia adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apa pun, ia tidak lebih dari perkara yang sia-sia.[62]
Ia juga memandang bahwa perkara yang luar biasa itu, sebagaimana dapat terjadi di tangan para shiddiqun yang shaleh, ia juga dapat terjadi melalui tangan manusia lain yang tidak seperti mereka; baik itu dari kalangan manusia biasa, bahkan dari kalangan manusia durjana sekalipun.
Tetapi di luar itu semua, Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa karamah itu sendiri tidak serta merta dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai keteguhan dan konsistensi (istiqamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang hanya mendapatkan karamah.[63] Itulah sebabnya, ia menukil sebuah ungkapan bijak Abu ‘Ali al-Jauzjani  –salah seorang syekh sufi besar di Khurasan-,
“Jadilah orang yang mencari keistiqamahan, bukan pencari karamah. Sebab jiwamu memang tertarik untuk mencari karamah, tapi Tuhanmu menuntut dan memintamu untuk selalu istiqamah.”[64]
Dalam kajiannya tentang karamah dan wali, Ibnu Taimiyah pada akhirnya menyimpulkan bahwa hubungan kewalian (al-walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-‘adat). Bahkan –menurutnya- bisa saja seorang wali samasekali tidak mengalami atau memiliki hal tersebut. Sebagaimana juga sebaliknya, bisa saja Allah membuat seorang pendurhaka dan pendosa mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa (seperti berjalan di air atau di udara). Dan hal-hal luar biasa itu tidak kemudian membuatnya menjadi wali Allah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah selalu menegaskan bahwa wali Allah yang sesungguhnya hanyalah mereka yang beriman dan memiliki ketakwaan sejati, sebagaimana disebutkan Allah dalam surah Yunus,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63).
Demikianlah, maka perkara-perkara luar biasa itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter kebenaran, sebab mereka yang mengalaminya memiliki kemungkinan untuk salah dan benar. Mereka tidak selamanya berada di atas kebenaran. Karena itu, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Orang-orang yang mengalami ‘mukhathabah’ dan ‘mukasyafah’[65] terkadang benar dan terkadang pula salah. Persis seperti mereka yang melakukan penelitian dan penyimpulan dalil saat melakukan ijtihad. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban mereka semua untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta menimbang semua ‘wajd’, ‘musyahadah’, pendapat dan rasio merkea dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.”[66]
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa spiritual oleh para sufi, seperti kasyf, wajd, ilham, dan yang semacamnya. Akan tetapi, yang terpenting –menurutnya- apa pun peristiwa itu, ia tidak dapat serta merta dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Peristiwa-persitiwa semacam itu –baginya- tidak jauh berbeda dengan proses ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha’ –misalnya- yang memiliki kemungkinan salah maupun benar. Dan untuk menentukan sejauh mana kebenaran dan kesalahannya, maka satu-satunya timbangan yang digunakan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
PENUTUP
Tentu saja tulisan singkat ini belum sepenuhnya sempurna dan utuh dalam menggambarkan serta menguraikan pandangan-pandangan khas Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf. Tetapi dari uraian di atas, setidaknya ada titik-titik penting yang dapat disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok Ibnu Taimiyah sendiri.  Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam menyikapi Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya; yaitu mengantarkan seorang hamba menuju Allah Ta’ala. Itulah sebabnya, ia selalu berusaha mengikat pandangan-pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah mengherankan jika ia sering merujuk kepada pandangan-pandangan para syekh sufi generasi awal –yang dalam pandangannya masih teguh menjaga jalan sufi ini tetap dalam bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-.
Demikianlah, dan waLlahu Ta’ala a’la wa a’lam.
(Sumber :www.abulmiqdad.multiply.com)

DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Aqidah wa al-Syari’ah fi Al-Islam: Goldziher, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh: DR. Muhammad Yusuf Musa, dkk. Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, Cetakan kedua. Tahun 1959.
2.      Al-Bidayah wa al-Nihayah: Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Beirut, Cetakan pertama, Tahun 1966.
3.      Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah: Ibrahim Zaki Khurshid, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969.
4.      Al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah: Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
5.      Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Harun Nasution, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan kesebelas, Agustus 2004.
6.      Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan: Ibnu Taimiyah, Maktabah Shubaih, Cetakan tahun 1378 H/1958 M.
7.      Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu: Muhammad Abu Zahrah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Tahun 1946.
8.      Al-Islam wa al-Tashawwuf: Syaikh Mushtafa ‘Abd al-Raziq, Editor: Zaky Khurshid dan ‘Abd al-Halim Yunus, Mathba’ah al-Sya’b, Kairo, t.t.
9.      Jami’ al-Rasa’il: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Mathba’ah al-Madany, Cetakan tahun 1389 H/1969 M.
10.  Kitab al-Iman: Ibnu Taimiyah, Koreksi: Muhammad Khalil Harras, Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Kairo, t.t.
11.  Al-Luma’: Abu Nashr al-Thusy, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, Tahun 1971.
12.  Majmu’ al-Fatawa: Ibnu Taimiyah, Dikumpulkan oleh Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim, Mathabi’ al-Riyadh, Cetakan pertama, t.t.
13.  Majmu’ah al-Rasa’il al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathba’ah Ali Shubaih, Tahun 1385 H/ 1966 M.
14.  Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il: Ibnu Taimiyah, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, t.t.
15.  Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Da’watuhu al-Ishlahiyah: DR. Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004.
16.  Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t.
17.  Al-Mu’jam al-Falsafy: DR. ‘Abd al-Mun’im al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo, Cetakan pertama, Tahun 1410 H/1990 M.
18.  Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid, Baghdad, t.t.
19.  Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathba’ah al-Amiriyyah, Kairo, t.t.
20.  Nasy’at al-Fikr al-Falsafy: DR. Ali Samy al-Nasysyar, Dar al-Ma’arif, Cetakan kelima, Tahun 1971.
21.  Al-Qamus al-Muhith: Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abady, Mua’ssasah al-Risalah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 1987.
22.  Al-Risalah al-Qusyairiyah: Abu al-Qasim al-Qusyairy, Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, Dar al-Ta’lif, Cetakan pertama, Tahun 1385 H/ 1966 M.
23.  Al-Shufiyah wa al-Fuqara’: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Jamil Ghazi, Mathba’ah al-Madany, Mesir, t.t.
24.  Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra‘iy wa al-Ra ‘iyah: Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, t.t.
25.  Sunan Ibnu Majah: Tahqiq: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Mathba’ah al-Halaby, Mesir, t.t.
26.  Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: Ibn al-‘Imad al-Hanbaly, Al-Maktabah al-Tijariyah, Beirut, t.t.
27.  Syu’ab al-Iman: Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqy, Tahqiq:  Muhammad al-Sayyid Zaghlul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Tahun 1410 H/1990 M.
28.  Al-Ta’arruf li Madzahib Ahl Al-Tashawwuf: Syaikh Abu Bakr al-Kalabadzy, Dar al-Ittihad al-‘Araby, Cetakan pertama, Tahun 1389 H/1969 M.
29.  Tadzkirah al-Huffazh: Al-Dzahaby, Cetakan Haidar Abad, t.t.
30.  Tafsir al-Razy (al-Tafsir al-Kabir): Fakhr al-Din al-Razy, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, Beirut, t.t.
31.  Al-Tashawwuf: Ibnu Taimiyah (Lih. Majmu’ al-Fatawa).
32.  Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah: DR. ‘Abd al-Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Dar al-Wafa’, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M.
33.  Thabaqat al-Shufiyyah: Abu Abd al-Rahman al-Sulamy, Tahqiq: DR. Ahmad al-Syarbashy, Mathba’ah al-Sya’b, t.t.
34.  Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah: Ibnu Taimiyah, Al-Mathba’ah al-Salafiyyah, Kairo, Tahun 1386 H.
35.  Al-‘Ubudiyyah: Ibnu Taimiyah, Dar al-Ta’lif, Cetakan ketiga, Tahun 1366 H/1947 M.
36.  Al-‘Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: Ibnu ‘Abd al-Hady, Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqy, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M.
37.  Al-Wabil al-Shayyib min al-Kalim al-Thayyib: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tahqiq: Muhammad Basyir ‘Uyun, Maktabah Dar al-Bayan, Beirut, Cetakan kelima, 1995.
[1] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15.
[2] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144.
[3] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288.
[4] Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, 189-190.
[5] Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 20. Kisah juga menjadi jawaban terhadap pandangan sebagian pemikir Islam –terutama saat membahas puisi-puisi al-Hallaj dan yang semacamnya- yang mengatakan bahwa para ulama yang mengkritisi mereka seperti Ibnu Taimiyah samasekali tidak memahami bahasa-bahasa puisi dan sastra. Tentu sangat sulit diterima akal sehat, jika Ibnu Taimiyah yang dengan cepat dapat menggubah syair ternyata tidak dapat memahami syair-syair al-Hallaj. Perlu juga diketahui, bahwa penguasaan terhadap syair sebagai bagian dari keahlian bahasa adalah hal yang umum dikuasai oleh para ulama Islam terdahulu. Ini tidak lain, karena mereka meyakini bahwa memahami al-Qur’an dan al-Sunnah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan penguasaan bahasa yang mumpuni. Wallahu a’lam.
[6] Lih. Syadzarat al-Dzahab, 6/71, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/132-133.
[7] Lih. Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah, hal. 235.
[8] Ibid., hal. 21
[9] Al-Wabil al-Shayyib, hal. 57.
[10] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 22-23.
[11] Ibid., hal. 23.
[12] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 23. Ketika sultan meminta Ibnu Taimiyah untuk memberi fatwa untuk menghabisi kelompok Ibnu Makhluf al-Maliky, Ibnu Taimiyah malah mengatakan, “Apa jadinya kerajaan Anda jika didukung oleh para ulama itu?”
[13] Lih. al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma’, hal. 26, Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200.
[14] Majmu’ Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 16.
[15] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36-37.
[16] Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36. Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48.
[17] Ibid., hal. 69.
[18] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368.
[19] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58.
[20] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/6-7. Salah kisah yang dijadikan bukti tentang hal ini oleh Ibnu Taimiyah adalah kisah kematian Abu Jubair al-A’ma. Dikisahkan oleh Shalih al-Murry, “Suatu ketika, aku membacakan ayat al-Qur’an kepada seorang ahli ibadah (maksudnya: Abu Jubair al-A’ma –pen): “Pada hari wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, ‘Duhai andaikata dulu kami menaati Allah dan menaati RasulNya.” (QS. al-Ahzab: 66). Ia pun pingsan. Tidak lama kemudian ia sadar kembali, dan berkata, “Tambahlah bacaanmu, wahai Shalih!” Maka aku pun membaca: “Setiap kali mereka ingin keluar darinya (neraka), mereka pun dikembalikan ke dalamnya.”(QS. al-Sajadah: 20). Ia pun tersungkur dan meninggal dunia.” Lih. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, 9/255.
[21] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19.
[22] Al-Shufiyyah wa al-Fuqara’, hal. 26.
[23] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20.
[24] Lih. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58.
[25] Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 179.
[26] Seperti yang disebutkan oleh Goldziher dalam al-‘Aqidah wa al-Syari’ah dan Louis Massignon dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273.
[27] Lih. Syarh al’Aqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128. Di sini secara khusus ia memuji pemuka-pemuka sufi seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh (w.187 H) dan Ma’ruf al-Karkhy.
[28] al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 38.
[29] Majmu’ al-Rasa’il al-Kubra, 2/324. Lih. juga pengakuannya yang lain dalam Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/418.
[30] Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10.
[31] Lih. Al-‘Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu’ al-Fatawa, 11/75, dan Nasy’at al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam, 3/15.
[32] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/15.
[33] Op.cit., 10/16. Lih. juga al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian maqam sang sufi.
[34] Lih. Al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 77.
[35] QS. Al-Baqarah: 222.
[36] Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 64.
[37] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal.227.
[38] HR. Muslim no. 2702.
[39] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal. 227.
[40] Lih. Al-Suluk, hal.219.
[41] Lih. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 221.
[42] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/17.
[43] Majmu’ al-Fatawa, 10/18.
[44] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/21-22.
[45] HR. Ibnu Majah, no. 4101, dan al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Iman, no. 10529.
[46] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/28-29.
[47] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.
[48] Diantaranya misalnya maqam ridha, ‘ubudiyyah, khauf dan raja’. Lih. Majmu’ al-Fatawa 10/616, al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah hal.58, al-‘Ubudiyyah hal. 43, dan Kitab al-Iman hal. 19.
[49] Lih. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, hal. 54. Lihat catatan kaki sebelumnya (no. 48) dimana Ibnu Taimiyah menganggap khauf sebagai salah satu maqamat, sementara dalam literatur Tasawuf lain khauf dikategorikan sebagai salah satu ahwal.
[50] Lih. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 73.
[51] Ibid., hal.45.
[52] Majmu’ al-Fatawa, (10/193).
[53] Ibid., (10/194)
[54] Majmu’ al-Fatawa, (18/315).
[55] Ibid., (18/320).
[56] Lih. Mukhtar al-Shihah, hal. 736-737, al-Qamus al-Muhith, 4/401, Tafsir al-Razy, 7/17, al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 49-50.
[57] Lih. Al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 50.
[58] Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/50).
[59] Al-Tashawwuf, hal. 76.
[60] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (5/154).
[61] Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 39.
[62] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, 5/158, Majmu’ al-Fatawa, 11/320, al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 40.
[63] Lih. Ibn Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, hal. 318.
[64] Thabaqat al-Shufiyyah, hal. 58.
[65] Mukhathabah dan mukasyafah adalah istilah yang biasa digunakan kaum sufi untuk menunjukkan jalan dan cara seorang sufi mendapatkan ilmu, baik itu melalui pendengaran yang ghaib (mukhathabah) atau mukasyafah (penyingkapan tabir yang ghaib melalui ilham). Lih. Al-Mu’jam al-Falsafy, hal. 278.
[66] Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/53).
http://www.wahdah.or.id/
http://petualangharakah.wordpress.com/2008/01/30/tasawuf-menurut-ibnu-taimiyah/